Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830)

Perang Diponegoro dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, yaitu putra sulung sultan ketiga Yogyakarta. Penyebab perang tersebut dibagi dalam dua sebab, yaitu alasannya yaitu umum dan alasannya yaitu khusus. Beberapa hal penyebab terjadinya perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang selanjutnya disebut penyebab umum, antara lain sebagai diberikut. 

1) Keraton merasa dihina dan diturunkan martabatnya akhir pemerintah kolonial Belanda terlalu jauh mencampuri urusan dalam keraton. 

2) Penderitaan rakyat yang makin menghebat akhir perlakuan pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. 

3) Kekecewaan kaum ulama terhadap perilaku orang-orang Belanda yang merendahkan budaya Timur dan menjunjung tinggi budaya Barat. 

Selain penyebab umum di atas, ada satu penyebab khusus Perang Diponegoro. Sebab khusus tersebut, yaitu pembuatan jalan Yogyakarta—Magelang yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin. Tindakan otoriter itu menjadikan amarah Diponegoro. Pancang-pancang sebagai batas jalan segera diganti dengan tombak atas perintah Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Belanda murka dan memerintahkan untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Pasukan Belanda menyerbu Tegalrejo dan memperabukan rumah Pangeran Diponegoro. melaluiataubersamaini insiden itu, pecahlah Perang Diponegoro. 

Pangeran Diponegoro menerima pertolongan dari rakyat Tegalrejo dan bergerak ke bukit Selarong untuk menghimpun kekuatan. Dari Selarong laskar Diponegoro kemudian mengepung Kota Yogyakarta. Perang pun terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain. 

Akibatnya, Belanda cemas lantaran tidak juga berhasil mengatasinya. Belanda menhadirkan pasukan aksesori dari aneka macam tempat di Indonesia, bahkan dari Negeri Belanda. Akan tetapi, tiruananya sanggup dihancurkan oleh pasukan Diponegoro. Akibat aneka macam abadiahan perang pada periode tahun 1825— 1826, Belanda pada tahun 1827 mengangkat Jenderal de Kock menjadi panglima pasukan Belanda di Jawa. Jenderal de Kock mengganti siasat perangnya dengan nama Siasat Benteng atau Benteng Stelsel. Artinya, setiap tempat yang sudah dikuasainya didirikan benteng untuk mengawasi tempat sekitarnya. Antara benteng satu dengan yang lain dihubungkan oleh pasukan gerak cepat. 

Di samping menerapkan Benteng Stelsel, Belanda juga mengusahakan penyelesaian secara tenang melalui negosiasi yang dilakukan pada tanggal 9 dan 23 Agustus 1827. Dalam negosiasi tersebut, pihak Pangeran Diponegoro diwakili oleh Kiai Mojo dan Abdulrahman. Perundingan tersebut tidak membawa hasil sehingga perang berkobar lagi. 


melaluiataubersamaini Benteng Stelsel, pemimpin pasukan Pangeran Diponegoro banyak yang tertangkap, di antaranya Suryomataram, Ario Prangwadono, Pangeran Serang, dan Notoprojo (1827).

Pasukan Sentot Prawirodirjo terus melaksanakan pertempuran di sebelah barat Yogyakarta. Namun, Belanda memperalat Prawiro-diningrat (Bupati Madiun) yang masih kerabat Sentot untuk membujuknya supaya mau menyerah. Akhirnya, Sentot Prawirodirjo yang diikuti Pangeran Ariokusumo (putra Diponegoro) dan Kiai Mojo berhasil ditangkap Belanda (1828). Kejadian itu ialah pukulan berat bagi Pangeran Diponegoro. Namun, Pangeran Diponegoro tidak mengalah dan terus melaksanakan perlawanan. 

Untuk mempercepat selesainya perang, Belanda memperlihatkan penyelesaian secara tenang melalui perundingan. Belanda akan menjamin keamanan, keselamatan, dan kebebasan Pangeran Diponegoro untuk kembali ke medan perang seandainya negosiasi gagal. Pangeran Diponegoro mendapatkan anjuran itu. Pada tanggal 18 Maret 1830, dilangsungkan negosiasi di Magelang, tetapi negosiasi tidak membawa hasil. Atas perintah diam-diam Jenderal de Kock, Pangeran Diponegoro ditangkap. Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia dan akibatnya diasingkan ke Manado pada tanggal 3 Mei 1830. Pada tahun 1834, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar hingga dengan wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 70 tahun. 

Kiai Mojo yang juga tertangkap segera diasingkan ke Minahasa hingga wafat pada tanggal 29 Desember 1849. Sementara itu, Sentot Prawirodirjo beserta pasukannya yang tertangkap dikirim Belanda ke Minangkabau untuk memerangi kaum Padri. Namun, lantaran dicurigai bersekutu dengan kaum Padri, Sentot Prawirodirjo dimembuang ke Cianjur, kemudian diasingkan ke Bengkulu hingga wafat pada tanggal 17 April 1855. 

Daftar Pustaka : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Post a Comment for "Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830)"