Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Sejarah Sebagai Seni

Sejarah Sebagai Seni


Sejarah dikatakan sebagai seni alasannya dalam rangka penulisan sejarah, seorang sejarawan memerlukan intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.

Intuisi

Sejarawan memerlukan intuisi atau ilham, yaitu pemahaman pribadi dan insting selama masa penelitian berlangsung. Seringkali dalam rangka memiilih suatu klarifikasi sejarawan juga memerlukan intuisi. Dalam hal ini, cara kerja sejarawan sama dengan cara kerja seorang seniman. Walaupun demikian, dalam menuliskan hasil karyanya seorang sejarawan harus tetap berpijak kepada yang
sudah diperolehnya.

Imajinasi

Dalam melaksanakan pekerjaannya seorang sejarawan harus sanggup membayangkan apa yang sebetulnya terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi setelah itu. Misalnya dalam rangka menggambarkan Perang Aceh, ia harus bisa diberimajinasi terkena pantai, hutan, desa, meunasah, istana, masjid, dan bukit-bukit. Ia mungkin akan bisa memahami Teuku Umar melalui pemahaman imajinernya wacana pantai, perlawanan Tjoet Nyak Dhien melalui hutannya dan impian perang sabil lewat imajinasinya wacana desa, meunasah, dan masjid.

Emosi

Pada masa penulisan sejarah zaman Romantik, yaitu pada tamat era ke-18 dan awal era ke-19, sejarah dianggap sebagai cabang dan sastra. Akibatnya, dalam penulisan sejarah disamakan dengan menulis sastra. Oleh lantaran itu, dalam penulisan sejarah harus dengan keterlibatan emosional. Seorang yang membaca sejarah penaklukan Meksiko, jatuhnya Romawi, pelayaran orang Inggris ke Amerika, harus dibentuk seakan-akan hadir dan menyaksikan sendiri insiden itu.

Dalam hal ini penulis sejarah haruslah punya tenggang rasa yang tinggi ( dalam bahasa Yunani “empatheia” berarti perasaan), untuk menyatukan perasaan dengan objeknya. Sejarawan diharapkan sanggup menghadirkan insiden sejarah, seakan-akan mengalami sendiri insiden itu. Untuk sejarah kebudayaan hal ini sangatlah penting. Dalam sejarah Indonesia wacana revolusi, perang dan pemadaman pemberontakan penulisan sejarah dengan penghadiran perasaan juga sangat penting untuk mewariskan nilai-nilai perjuangan.

Gaya Bahasa

Gaya Bahasa yang baik, bukan berarti gaya bahasa yang berbunga-bunga. Seringkali gaya bahasa yang lugas justru lebih menarikdanunik. Gaya bahasa yang berbelit-belit dan tidak sistematis yaitu gaya bahasa yang buruk. Dalam penggunssn gaya bahasa ini haruslah diperhatikan penerapan istilah dan idiom yang terkait dengan suatu zaman dan tidak sama artinya dengan yang lainnya. Misalnya istilah “siap” pada masa awal revolusi kemerdekaan tahun 1945 berkonotasi kepada kewaspadaan menghadapi bahaya, baik musuh maupun bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Pada masa Orde Lama, sangat terkenal penerapan istilah-istilah yang ekspresif seperti: ganyang, labrak, terjang lawan, bongkar, dan kepruk. misal lain pada masa Orde Baru, istilah bisa berarti ditahan, dipenjarakah, dikucilkan, dan bisa berarti dibunuh. Sejarah sebagai seni mempunyai kelernahan-kelemahan sebagai diberikut.

  • Berkurangnya Ketepatan dan Objektivitas
Ketepatan dan objektivits sangat diharapkan dalam penulisan sejarah. Ketepatan maksudnya kesesuaian antara fakta dan goresan pena sejarah, sedangkan objektivitas artinya tidak adanya pandangan individual dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah menurut kepada fakta, sedangkan seni yaitu hasil imajinasi. Sejarah yang terlalu erat dengan seni dianggap sanggup mengurangi ketepatan dan objektivitasnya.

  • Penulisan Sejarah akan Terbatas
Penulisan sejarah yang terlalu erat dengan seni akan terbatas kepada objek-objek yang sanggup dideskripsikan. Penulisan sejarah akan penuh dengan citra wacana perang dan biografi yang penuh sanjungan, sedangkan tema-tema sejarah lain yang penting, ibarat sejarah ekonomi dan sejarah kuantitatif yang menyuguhkan nangka-angka dan analitis tidak akan ditulis.

Sumber Pustaka: Yudhistira

Post a Comment for "Pengertian Sejarah Sebagai Seni"