Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Peran Golongan Pintar Dalam Pergerakan Nasional

Golongan terpelajar yang tumbuh dan berkembang sehabis proses pelaksanaan pendidikan Barat ialah golongan di masyarakat Indonesia yang sudah mempunyai wawasan baru, yaitu nasionalisme Indonesia. Golongan cendekiawan atau terpelajar sadar bahwa dirinya dalam keadaan yang serba terbelakang. Mereka berdiri membentuk kekuatan sosial gres yang berjuang tidak spesialuntuk untuk perbaikan nasib dan kesejahteraan, tetapi juga untuk kemerdekaan nasional.

Dalam rangka usaha untuk menghapuskan penjajahan, golongan terpelajar menyadari perlunya persatuan dan kesatuan seluruh lapisan masyarakat. Cita-cita nasionalisme Indonesia harus ditumbuhkembangkan. Kemerdekaan mustahil tercapai apabila persatuan dan kesatuan segenap lapisan rakyat tidak sanggup diwujudkan.

Golongan terpelajar berusaha keras untuk mengubah pandangan usang yang bersifat kedaerahan dengan ide yang bersifat nasional. Golongan terpelajar meyakini bahwa harapan kemerdekaan gres sanggup diwujudkan jika nasionalisme sudah tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia.

Nasionalisme Indonesia ialah ikatan kekuatan yang berpengaruh bagi tiruana suku untuk terciptanya persatuan nasional Indonesia. Golongan terpelajar menyadari pula untuk mempercepat proses lahirnya nasionalisme Indonesia perlu segera dibuat organisasi yang mempunyai keanggotaan luas sebagai wadah dan alat perjuangan.

Tokoh-tokoh pimpinan pergerakan nasional menyadari pula bahwa nasionalisme Indonesia sanggup ditumbuhkembangkan secara lebih cepat melalui pendidikan. Dalam rangka mewujudkan gagasan tersebut, organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh nasional mendirikan sekolah-sekolah. Didirikannya sekolah dengan tujuan untuk mendidik kader pimpinan organisasi yang tangguh serta menanamican nasionalisme kepada anak didik.

Peran Golongan Profesional


Guru
Program pendidikan dari pemerintah kolonial mendapat jawaban yang antusias dari rakyat Indonesia. Tetapi sangat diakungkan, tidak tiruana anak yang berminat sanggup ditampung. Kondisi ini disebabkan masih terbatasnya jumlah dan daya tampung sekolah serta pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan pemerintah ini membuat pendidikan disalahartikan.

Sekolah tidak lagi dipahami sebagai ajang aktivitas berguru mengajar, melainkan sebagai masukana menaikkan status sosial. melaluiataubersamaini bersekolah orang bukan berharap makin menyadari kiprah dan pengabdiannya bagi bangsa, tetapi ingin meningkatkan kedudukannya di tengah masyarakat.

Di tengah kerancuan tujuan menempuh pendidikan itu, tampil para pendidik bumiputera yang bertekad mendayagunakan pendidikan sebagai ajang penggemblengan para putera bangsa. Tekad itu mereka lakukan dengan mendirikan pergurunan kebangsaan. Sesuai dengan namanya, sekolah tinggi ini berupaya merangkul tiruana perjaka bumiputera tanpa membedakan dari kalangan manapun, menyerupai yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara, Mohammad Syafei, dan E.F.E. Douwes Dekker. Ki Hajar Dewantara pada tahun 1920, mendirikan Perguruan Taman Siswa.

Perguruan ini bertujuan mendidik angkatan muda bumiputera biar menjiwai kebangsaan Indonesia. Untuk itu dalam aktivitas berguru mengajar ditanamkan semangat anti penjajahan sekaligus kecintaan akan tanah air. melaluiataubersamaini tertanamnya jiwa kebangsaan itu, para perjaka bumiputera nantinya akan sanggup dipercaya sebagai pemimpin yang memperjuangkan kemerdekaan.

Mohammad Syafei mendirikan INS (Indonesische Nederlandsche School) Kayu Tanam. Perguruan ini bertujuan mendidik para perjaka bumiputera untuk mengabdi kepada kepentingan bangsa Indonesia. Untuk itu sekolah tinggi ini menanamkan tradisi semangat kerja, aktif-kreatif, dan mandiri. Tradisi amat diharapkan sebagai modal usaha menuju kemerdekaan sekaligus mengisi kemerdekaan nantinya.

Tidak ketinggalan, E.F.E. Douwes Dekker pun pada tahun 1924 mendirikan Ksatrian School. Tujuan dirikannya sekolah tersebut yaitu menumbuhkan harga diri dan akidah sebagai insan merdeka di kalangan anakdidik bumiputera. Untuk itu, landasan proses berguru mengajar yaitu training kesadaran sebagai insan Indonesia.

Selain ketiga tokoh tersebut masih banyak tokoh-tokoh lain yang terpanggil untuk mendirikan masukana pendidikan bagi kaum muda bumiputera. Pada tahun 1928, beberapa tokoh pergerakan nasional mendirikan Perguruan Rakyat. Tujuan sekolah ini yaitu menyelenggarakan kursus lanjutan terkena bahasa, ilmu bangsa-bangsa, ilmu sosial, tata negara, geografi, dan tata buku.

Hal yang menarikdanunik dalam proses berguru mengajar ini yaitu diupayakan sedapat mungkin menghilangkan hal-hal yang berbau kedaerahan. Secara positif, tiruana yang diajarkan dikaitkan dengan kebangsaan Indonesia. Tampak jelas, guru mempunyai kiprah yang sangat besar dalam membentuk dan menumbuhkan kembangkan kesadaran nasional.

Pedagang
Kaum pedagang juga turut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Seorang saudagar batik dari Solo, Kyai Haji Samahudi, mendirikan perkumpulan pedagang muslim dengan nama Sarekat Dagang Islam pada tahun 1909. Motivasi awal pembentukan organisasi ini yaitu untuk memeperjuangkan kepentingan pribumi di Hindia Belanda. Namun, pada perkembangannya, SDI berkembang menjadi Sarekat Islam yang lebih mengarah pada usaha untuk lepas dari kolonialisme. 

Peran Pers
Sejalan dengan masuknya teknologi modern dan paham-paham gres ke Indonesia pada kurun ke-19, dunia pers (media massa) di Indonesia mulai berkembang. Pada mulanya media massa tersebut dipakai oleh orang Barat dan orang Cina dengan tujuan penerbitan yang tidak sama sesuai dengan kepentingan masing-masing. 

Waktu itu kebebasan pers belum ada, lantaran adanya sensor yang sangat keras dari pemerintah kolonial. Lambat laun muncul kesadaran akan pentingnya pers bagi masyarakat. Pers tidak spesialuntuk sekedar mempersembahkan informasi tentang aneka macam hal, tetapi juga sanggup mempengaruhi dan membentuk pendapat (opini) masyarakat.

Atas kesadaran itu, pada masa pergerakan nasional hampir setiap partai politik dan organisasi massa yang tumbuh di Indonesia mempunyai surat kabar atau majalah. Surat kabar atau majalah itu membawa bunyi dan kepentingan organisasi masing-masing. melaluiataubersamaini surat kabar atau majalah itulah, tiap organisasi kebangsaan memasyarakatkan, mengkampanyekan, dan mempropagandakan program-program organisasi, pandangan tentang nasionalisme Indonesia, serta Koreksi terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Sehingga, berdirinya aneka macam organisasi kebangsaan menandai kebangkitan pers di Indonesia.

Pers Budi Utomo
Sejak lahir, Budi Utomo sangat memperhatikan kiprah penting penerbitan dan surat kabar sebagai penyambung bunyi organisasi. Organisasi itu memakai surat edaran dan surat kabar untuk mengkampanyekan program-programnya. Surat edaran mereka kirimkan kepada surat kabar berbahasa Belanda dan Melayu untuk dimuat. Di samping itu, Budi Utomo juga menerbitkan surat kabar sendiri berjulukan Darmo Kondo.

Pers Sarekat Islam
Sarekat Islam menerbitkan surat kabar Oetoesan Hindia semenjak tahun 1913. Selama lebih dari 10 tahun, surat kabar itu memuat artikel dan diberita tentang perkembangan politik, ekonomi, dan perubahan internal organisasi. Kemashuran surat kabar itu didukung oleh tulisan-tulisan berkarakter karangan para pemimpin SI, menyerupai Cokroaminoto, Abdul Moeis, dan H. Agus Salim. 

Pers Indische Partij 
Seperti organisasi pergerakan nasional lainnya, Indische Partij juga menerbitkan majalah dua mingguan Het Tijdschrift dan surat kabar De Express. Kedua media massa tersebut terutama memuat pandangan-pandangan politik Douwes Dekker. Tulisanstulisannya bisa menggugah perilaku kritis terhadap pemerintah kolonial 13elanda. Berkat tulisan-tulisan itu pula terbentuk kesatuan pandangan terkena nasionalisme dan usaha kemerdekaan Indonesia.

Baik majalah maupun surat kabar tersebut terbit dalam bahasa Belanda, namun hal itu bukan ialah hambatan bagi pembaca Indonesia, terutama kalangan terpelajar. Sepulangnya dari pengasingan di negeri Belanda, Suwardi Suryaningrat pada tahun 1916 merintis penerbitan majalah Hindia Poetra. Majalah tersebut bertujuan melestarikan arah usaha yang digalang Indische Partij lampau. Sebelumnya majalah itu terbit dalam bahasa Belanda. Kemudian Abdul Muis mengusulkan biar majalah tersebut diterbitkan dalam bahasa Melayu, sehingga sanggup menjangkau sebanyak mungkin pembaca Indonesia. 

 Golongan terpelajar yang tumbuh dan berkembang sehabis proses pelaksanaan pendidikan Bara Peran Golongan Terpelajar dalam Pergerakan Nasional

Pers Perhimpunan Indonesia 
Saat masih berjulukan Indische Vereeniging (IV), Perhimpunan Indonesia menerbitkan majalah Hindia Poetra. Melalui majalah itu, para tokoh IV memberikan gagasan tentang nasionalisme Indonesia dan usaha kemerdekaan kepada para pemuda, baik di Belanda maupun di Indonesia. Sesudah IV berganti narna menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1923, majalah Hindia Poetra turut berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Tulisan-tulisan dalam Indonesia Merdeka sangat gencar memperabukan jiwa nasionalisme perjaka Indonesia. Dalam rangka menyukseskan misinya, PI pun terampil dalam melaksanakan distribusi. Mengingat isinya sangat keras terhadap pemerintah Belanda, para anggota PI harus melaksanakan penyebaran majalah secara rahasia, biar terhindar dari penyitaan. Keberhasilan distribusi itu tampak dari popularitas majalah Indonesia Merdeka, baik di Belanda maupun di Indonesia. Sejalan dengan kebangkitan nasional, pers Indonesia mengalami kemajuan dan meningkat pengaruhnya pada bidang kehidupan lain.

Surat kabar Islam yang berguaka ragam di tengah-tengah tekanan pemerintah dan depresi tahun 1920-an juga ialah menandakan bahwa umat Islam sudah bangkit. Untuk mengimbangi pekembangan pers nasional Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan nitusan judul buku dan setiap tahun dicetak ulang kemudian disebar ke seluruh rakyat Indonesia.

Adanya penerbitan tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia sedang terjadi revolusi. Surat kabar sudah menyatakan hal itu dengan jelas. Proses-proses yang terjadi di Barat (Eropa) dalam waktu berabad-abad, di Indonesia terjadi dalam beberapa puluh tahun saja. Keampuhan pers terutama media cetak, membuat pemerintah kolonial memperlakukannya dengan keras.

Pada permulaan tahun 1930-an tatkala pemerintah kolonial sangat reaksioner, pers mengalami kelumpuhan. Aturan ketat dari pemerintah kolonial menekan dan memberangus pers. Boleh dikatakan bahwa pada masa-masa terakhir kekuasaan pemerintah kolonial, pers nasional, apa lagi yang radikal sangat susah untuk bersuara.

Semasa pergerakan nasional, kaum perempuan tidak tinggal diam. Pada mulanya, gerakan perempuan terbatas pada gerakan sosial yang bertujuan mengangkat derajat perempuan dan melawan tradisi yang mengekang, menyerupai kawin paksa dan poligami. Gerakan sosial itu dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan yang tidak spesialuntuk mengajarkan pengetahuan umum, melainkan juga pengetahuan mudah sebagai bekal bagi seorang gadis menjadi ibu rumah tangga.

Kegiatan tersebut mula-mula dilakukan oleh perorangan menyerupai R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Maria Walanda Maramis. Kartini membuka sekolah untuk para gadis di Jepara. Sesudah berkeluarga, ia mendirikan sekolah di Rembang. Dewi Sartika membuka sekolah di Bandung. Maria W. Maramis membuka sekolah di Gorontalo. 

Kegiatan perorangan itu kemudian berkembang dalam bentuk organisasi wanita. Sesudah berbentuk organisasi, cakupan gerakan lebih meluas, walaupun tujuan utamanya tetap, yakni mengangkat derajat wanita. Organisasi perempuan tersebut ada yang berdiri sendiri, ada pula yang menjadi cuilan dari organisasi pria, menyerupai halnya dibawah ini:

  1. Pada tahun 1912, di Jakarta berdiri organisasi perempuan pertama berjulukan Putri Mardika. Organisasi tersebut merup‘akan cuilan dari Budi Utomo. Putri Mardika mendampingi para gadis dalam pendidikan, mempersembahkan beasiswa kepada para gadis, dan menerbitkan majalah sendiri.
  2. Pada tahun 1913, di Tasikmalaya berdiri organisasi Kautamaan Istri, yang menaungi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika.
  3. Atas inisiatif Ny. van Deventer, berdirilah Kar-tini Fonds. Salah satu usaha Kartini Fonds yaitu mendirikan sekolah-sekolah yang disebut Sekolah Kartini di aneka macam kota, menyerupai Batavia, Buitenzorg (Bogor), Cheribon (Cirebon), Semarang, Madiun, dan Surabaya.
  4. Pada tahun 1914, di kota Gadang, bersahabat Bukittinggi, Sumatera Barat, Rahena Kudus mendirikan Karajinan Amai Setia. Salah satu usaha organisasi ini yaitu mendirikan sekolah-sekolah untuk wanita.
  5. Pada tahun 1917, Siti Wardah (Ny. Ahmad Dahlan) mendirikan Aisyiah sebagai cuilan dari Muhammadiyah.
  6. Organisasi perempuan lain yang ialah pengembangan dari organisasi laki-laki yaitu Sarekat Putri Islam (dari Sarekat Islam), Ina Tuni (dari Jong Ambon), Jong Java Meisjekring (dari Jong Java), dan Jong Islamieten Bond Dames Afedeling (dari Jong Islamieten).

Kongres Wanita
Pada tahun 1920, organisasi perempuan semakin berkembang. Selanjutnya, para perempuan pun mulai terlibat dalam gerakan politik, terutama organisasi perempuan yang diberinduk kepada organisasi politik. Pada tahun 1928, tujuh organisasi perempuan mengadakan kongres di Yogyakarta. Kongres yang berlangsung tanggal 22-25 Desember itu dipimpin oleh R.A. Sukanto.

Kongres tersebut membicarakan aneka macam problem yang muncul pada waktu itu. Misalnya, persatuan di kalangan wanita, problem perempuan dalam keluarga, serta problem poligami dan perceraian. Selain itu, dibicarakan juga perilaku yang harus diambil terhadap kolonialisme Belanda. Hasil terpenting dari kongres itu yaitu terbentuknya Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), sebuah organisasi adonan yang menghimpun aneka macam organisasi wanita.

Kemudian namanya berganti menjadi Perserikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Dalam PPII bergabung organisasi-organisasi yang tidak sama asas. Ada yang bersifat agama, sosial, dan politik. Ada yang menganut politik kooperasi, dan ada pula yang nonkooperasi.

Keberagaman asas organisasi itu membuat keputusan-keputusan yang diambil dalam kongres pada umumnya netral, khususnya dalam problem agama. Dalam kongres bulan Desember 1930, PPII secara tegas menyatakan bahwa pergerakan perempuan Indonesia yaitu cuilan dari pergerakan bangsa. Pada bulan Juli 1935, atas inisiatif PPII diadakan kongres perempuan kedua di Jakarta. Dalam kongres ini dibahas antara lain:
  • Masalah buruh wanita,
  • Usaha memberantas buta huruf,
  • Sikap netral terhadap agama,
  • Usaha menanamkan semangat kebangsaan,
  • Menjadikan kongres perempuan Indonesia sebagai tubuh tetap.

Sesuai dengan keputusan itu, pada bulan Desember 1935, PPII dibubarkan. Sebagai gantinya, berdiri Kongres Perempuan Indonesia (KPI). Dalam agenda perjuangannya, KPI berusaha mendapat hak pilih bagi perempuan dalam dewan-dewan perwakilan.


Daftar Pustaka: Erlangga

Post a Comment for "Peran Golongan Pintar Dalam Pergerakan Nasional"