Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjanjian Linggarjati Dalam Upaya Usaha Rakyat Dan Legalisasi Kedauatan Ri

Perjanjian Linggarjati Dalam Upaya Perjuangan Rakyat Dan Pengakuan Kedauatan RI



melaluiataubersamaini abadiahan Jepang dan Sekutu dalam Perang Pasifik, pasukan pendudukan Jepang harus mempertahankan wilayah Indonesia hingga pasukan Sekutu hadir mendapatkan penyerahan kekuasaan itu. Namun tiga hari sehabis menyerahnya Jepang, yaitu tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya dan sekaligus sudah siap untuk mempertahankannya. Di samping itu pula, rakyat dengan sekaligus pribadi bertindak untuk melakukan pemindahan kekuasaan dan tangan Jepang dan menegakkan kedaulatan negara Republik Indonesia yang gres bangun itu. Kantor-kantor pemerintah, obyek-obyek vital menyerupai kantor telekomunikasi, pelabuhan, lapangan udara, hotel-hotel dan lain sebagainya, diambil alih oleh rakyat Indonesia. namun jalan pengambilan-alihan kekuasaan tidak selalu lancar alasannya Jepang masih mencoba mempertahankan wilayah Indonesia hingga pasukan Sekutu hadir, tetapi sebagian lagi mengalah demi keselamatan jiwanya.

Selain pengambilalihan kekuasaan, rakyat berusaha untuk memperoleh senjata-senjata Jepang. Karena pada umumnya pihak Jepang enggan menyerahkan senjatanya kepada pihak Indonesia, maka terjadilah pertempuran dahsyat antara pasukan-pasukan Jepang yang masih belum menyerahkan senjatanya dan para perjaka terutama di kota-kota besar menyerupai Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Medan, Palenibang, Ujung Pandang, dan tempat-tempat lain di Indonesia yang diduduki oleh pasukan Jepang. Korban berjatuhan alasannya pasukan Jepang tetap mempertahankan wilayah Indonesia hingga hadirnya pasukan. Sekutu, sedang rakyat dan para perjaka tetap memaksa pasukan Jepang menyerahkan kekuasannya kepada rakyat Indonesia. Pengorbanan rakyat dan para perjaka tidaklah sia-sia, alasannya kedaulatan Republik Indonesia akhimya berhasil ditegakkan. Proses kudeta itu berlangsung dan bulan Agustus hingga Oktober 1945.



Puncak peijuangan para perjaka Jakarta yang bermarkas di Menteng Raya 31 dan para mahasiswa yang berasrama di Prapatan 10 dalam menegakkan kedaulatan Republik Indonesia ialah rapat raksasa yang diselenggarakan tanggal 19 September 1945 di Lapangan Ikada. Namun Jepang berusaha menggagalkan rapat itu dengan pasukan-pasukan bersenjata lengkap didukung oleh kendaraan beroda empat lapis baja, walaupun tetap tidak bisa menghalangi desakan rakyat yang membanjiri Lapangan Ikada. Dalam rapat itu, Presiden Soekarno didampingi oleh Wapres Drs. Moh. Hatta berpidato untuk menenangkan rakyat. Sekalipun semangat mereka tetap bergelora, tetapi alasannya patuh terhadap Pimpinan Nasional mereka kemudian bubar dengan tertib.

Pada waktu bersamaan, di Surabaya teijadi suatu tragedi yang dikenal sebagai Insiden Bendera, alasannya Belanda berani mengibarkan bendera Belanda (Merah Putih Biru) di Hotel Yamato, Tunjungan dan mengklaim diri sebagai penguasa di Indonesia. Padahal pemerintah Republik Indonesia di Surabaya sudah melarang pengibaran bendera itu. Akhirnya rakyat menyerbu Hotel Yamato dan warna biru bendera itu berhasil dirobek, sehingga bendera Merah Putih berkibar kembali. Sementara itu di Semarang pecah pertempuran antara perjaka dan pasukan Jepang selama lima hari yang berlangsung antara tanggal 14 dan 19 Oktober 1945.

Bentrokan-bentrokan yang teijadi hampir di seluruh wilayah Indonesia sudah menyadarkan Pemerintah akan perlu adanya tentara nasional. Maka pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah mengeluarkan makiumat ihwal pembentukan Tentara Keamanan rakyat (TKR). Adapun yang ditunjuk sebagai peinimpin tertinggi TKR ialah Supriyadi, salah seorang peinimpin pemberontak PETA di Blitar dan sebagai Kepala Staf Umum ialah Oerip Soemohardjo, pensiunan mayor KNIL/tentara Hindia Belanda yang mendukung Republik Indonesia. Beliau kemudian mengambil langkah-langkah penyusunan organisasi TKR, diikuti oleh para peinimpin BKR di daerah.

Sesudah pasukan Sekutu yang memboncengi Belanda menerima perlawanan mahir dan rakyat dan para perjaka Indonesia, Inggris menarikdanunik suatu kesimpulan bahwa sengketa antara Indonesia dan Belanda mustahil diselesaikan dengan kekuatan senjata, melainkan dengan cara diplomasi. Keadaan ini dilaporkan kepada Pemerintah Inggris yang kemudian mengambil langkah-langkah untuk mempertemukan kedua belah pihak. Usaha merintis negosiasi dilaksanakan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), dengan jalan memepertemukan Presiden Soekarno dengan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H.J. Van Mook. Pertemuan itu diadakan bulan Oktober 1945. Usaha Christison mengalaini kegagalan alasannya masing-masing pihak berpegangan pada pendirian yang bertolak belakang. Baru sehabis Kabinet Syahrir dibuat pada bulan Nopember 1945, negosiasi dirintis kembali.

Pemerintah Inggris mengirim Sir Archiband Clark Kerr sebagai duta istimewa ke Indonesia. Akhirnya negosiasi antara Indonesia dan Belanda dimulai pada tanggal 10 Nopember 1946. Dalam negosiasi itu Van Mook mengulangi pendirian Pemerintah Belanda untuk menimbulkan Indonesia sebagai negara persemakmuran (commonwealth) melalui masa peralihan 10 tahun. Di pihak lain, Indonesia berpegangan pada pendirian bahwa Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Untuk itu Pemerintah Republik Indonesia bersedia membayar tiruana pinjaman Pemerintah Belanda sebelum tanggal 6 Maret 1942. Belanda menolak konsesi itu, dan bergotong-royong sebagian besar rakyat Indonesia tidak menyetujuinya pula.

Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda di kota Hooge Veluwe, bulan April 1946. Dalam negosiasi itu Belanda menolak ajakan yang diajukan Clark Kerr aka pengukuhan kedaulatan secara de facto wilayah Indonesia yang terdiri atas Sumatera dan Jawa. Pemerintah Belanda spesialuntuk bersedia mempersembahkan pengukuhan de facto atas Pulau Jawa dan Madura saja. Usul Belanda biar wilayah Indonesia tetap berada di bawah naungan Kerajaan Belanda ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Pihak Inggris kembali memperlihatkan jasa baiknya. Karena Belanda sangat bergantung pada Inggris, maka masukan Inggris dengan terpaksa diterima dengan memdiberi pengukuhan de facto atas Jawa dan Sumatera. Ternyata pernyataan ini pun ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam perjuangan penyelesaian pertikaian antara Indonesia dan Belanda, perlu diadakan perundingan. Perundingan ini gres akan sanggup terealisasi apabila sudah tercipta suasana damai. Oleh alasannya itu, diadakan gencatan senjata, dengan membentuk koinisi genctan senjata dan kedua belah pihak. Pihak Republik Indonesia dipipin oleh dr. Sudarsono, Jenderal Sudirman, dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Inggris mengirim Lord Killearn sebagai penengah sehabis koinisi gencatan senjata terbentuk. Indonesia dan Belanda kembali ke meja negosiasi di Jakarta. Perundingan dimulai pada tangga 10 Nopember 1946 untuk kemudian menerima persetujuan dan dewan legislatif masing-masing pihak. Isi Persetujuan Linggarjati antara lain adalah:
  1. Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda bahu-membahu membentuk negara federasi berjulukan Negara Indonesia Serikat.
  2. Negara Indonesia Serikat tetap mengikat din dalam ikatan kolaborasi dengan Kerajaan Belanda, dengan berwadahkan Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda.
Sesudah naskah ditanhadirani, muncul aneka macam problem pro dan kontra dalam masyarakat Indonesia. olongan yang pro ialah golongan-golongan yang mendukung Pemerintah, menyerupai golongan sosialis yang tergabung dalam akup kin. Sebaliknya yang kontra ialah golongan nasionalis, Islam, dan sekuler yang tergabung dalam Benteng Republik Indonesia. Namun dengan menambah jumlah bunyi dalam KNIP, Pemenintah berhasil mendapatkan proteksi dan KNIP. Maka pada tanggal 25 Maret 1947 kedua belah pihak dan bangsa Indonesia menyetujui Perjanjian Linggarjati.
Sumber Pustaka: Erlangga

Post a Comment for "Perjanjian Linggarjati Dalam Upaya Usaha Rakyat Dan Legalisasi Kedauatan Ri"