Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tasamuh Antara Umat Islam Dengan Umat Beragama Lain

Tasamuh Antara Umat Islam melaluiataubersamaini Umat Beragama Lain


Di Negara Republik Indonesia, terdapat banyak sekali macam agama. Agar kerukunan antarumat beragama yang ada di Indonesia itu terwujud, maka masing-masing umat beragama harus bersikap tasãmuh (bersikap toleran). Tasamuh dalam kehidupan beragama berarti bahwa pemeluk suatu agama membiarkan pemeluk agama lain untuk melakukan kewajiban yang dituntut oleh agamanya. Misalnya, dikala umat Islam melakukan kewajiban ibadah agamanya di sebuah masjid, maka umat agama lain tidak akan mengganggunya.

Demikian pula sebaliknya, bila umat agama lain sedang menunaikan kewajiban ibadah agamanya di sebuah tmpat ibadahnya, maka umat Islam pun tidak akan mengganggunya. Jika mereka saling mengganggu dalam dilema tersebut, berarti mereka tidak bersikap tasamuh.



Umat beragama yang berjiwa toleransi tentu tidak akan memaksa orang lain untuk memeluk agama yang mereka anut. Memeluk suatu agama ialah hak paling asasi bagi setiap manusia. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya sudah terperinci jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar pada TagUt dan diberiman kepada Allah, maka sesungguhnya Ia sudah borpegang kepada buhul tall yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Men getahul” (Q.S. AI-Baqarah 2: 256)

Namun, bila seorang muslim mengajak orang yang belum beragama biar masuk Islam dengan cara yang bijaksana, bukan dengan paksaan. Maka muslim tersebut bukan berarti tidak berjiwa toleran, tetapi ia bergotong-royong sudah melakukan salah satu kewajiban agamanya, yaitu berdakwah. (Lihat Q.S. An Nahl, 16: 125!)

Muslim yang melakukan kewajiban dakwah akan bersyukur apabila perjuangan dakwahnya itu berhasil. Tetapi dia akan bersabar, bertawakal serta berlapang dada (tasãmu) apabila perjuangan dakwahnya itu gagal. Ia tidak akan kecewa, marah-marah, dan berputus asa. Sebaliknya, ia akan tetap menjalin kekerabatan baik dengan orang yang tidak memenuhi seruannya untuk masuk Islam itu. Hal ini didasari dengan keyakinan bahwa melakukan perjuangan dakwah ialah suatu kewajiban, sedangkan jadinya Allah SWT yang menentukan.

Dalam mengulas dilema toleransi beragama antara umat Islam dan umat beragama lain, ada baiknya dikemukakan beberapa praktik toleransi pada masa Nabi Muhammad SAW sebagai diberikut:

  • Seorang teman erat Nabi SAW yang berjulukan Ka’ab bin ‘Ajzah menceritakan kepada Nabi SAW bahwa dirinya bekerja pada seseorang yang beragama Yahudi, kemudian memperoleh upah darinya. Nabi SAW membolehkan perbuatan teman dekatnya tersebut.
  • Ketika Rasulullah SAW berhijrah dan Mekah ke Madinah, dia menyewa seorang musyrik (non Islam) yang berjulukan Uraiqi sebagai petunjuk jalan.
  • Nabi Muhammad SAW mengabulkan undangan orang-orang Yahudi untuk makan bersama. Ketika masakan yang dihidangkan itu mengandung racun yang sengaja ditaruh orang-orang Yahudi untuk membunuh Nabi Muhammad, dia segera mengetahuinya dan karenanya tidak mau memakannya. Hal inilah yang mengakibatkan hati kecil orang-orang Yahudi itu percaya pada kebenaran kerasulan Nabi Muhammad SAW, namun lantaran kesombongannya mereka tetap saja tidak mau masuk Islam.
  • Rasulullah SAW pernah mempersembahkan hadiah kepada Raja Najasyi dan orang Yahudi. Selain itu, Nabi SAW juga pernah menenima hadiah dan beberapa raja nonmuslim.
  • Tatkala Rasulullah SAW dan para teman dekatnya sedang berkumpul, tiba-tiba lewatlah sekelompok orang mengusung jenazah. Ketika mayit itu lewat, Nabi SAW bangun sebagai tanda hormat. Lalu, ada seorang teman erat bertanya: “Wahai Rasulullah bukankah itu mayat Yahudi?” Rasulullah SAW menjawaban:

Artinya: “Bukankah itu nyawa juga?” “Ya”, tanggapan orang itu, selanjutnya dia berkata:

Artinya: “Setiap nyawa berdasarkan Islam, harus dihormati dan ada tempatnya.”

  • Abu TIib yakni salah seorang Paman Nabi Muhammad SAW yang mengasuh, merawat, dan melindungi dia sejak dia berusia 8 tahun. Sesudah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, dia mengajak pamannya tersebut biar masuk Islam. Tetapi permintaan Nabi SAW itu tidak dipenuhi sehingga pamannya tetap dalam ke’kafiran hingga selesai hayatnya.
Walaupun begitu, kekerabatan antara Nabi SAW dengan Abu f1ib tetap terjalin baik. Nabi SAW tetap hormat dan akung kepada Abu ‘Tilib, sebaliknya Abu ‘Thlib juga tetap akung dan melindungi Nabi SAW dan gangguan orang-orang kafir Quraisy.

Dan praktik-praktik toleransi pada masa Nabi Muhammad SAW, yang sebagiannya sudah disebutkan di atas, sanggup dipahami bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, umat Islam dan umat beragama lainnya harus saling menghormati, menghargai, dan bekerja sama dalam urusan dunia demi terwujudnya keamanan, ketertiban, kedamaian, dan kesejahteraan bersama.

Namun dalam urusan akldah, umat Islam harus berpegang teguh pada keyakinannya bahwa Islam yakni agama yang paling benar. Karena sudah diuji kebenarannya, baik dan segi sejarah kehadirannya, kandungannya, keasliannya, kitab sucinya, kesempurnaan, dan kelengkapan ajarannya, keilmuannya serta kesesuaiannya dengan fitrah manusia.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah spesialuntuklah Islam ... Barang siapa mencari agama se/am agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di darul abadi termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Mi ‘Imrãn, 3: 19 dan 85)

Dalam urusan keyakinan dan ibadah agama, umat Islam dihentikan untuk tukar-menukar keyakinan dan ibadah agamanya dengan keyakinan dan ibadab umat beragama lain. Karena apabila hal mi dilakukan, selain akan merusak keyakinan dan ibadah Islam, juga akan mengakibatkan akibat-akibat jelek lainnya. Itulah sebabnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan bahwa mengikuti upacara natal bersama bagi umat Islam, hukumnya haram.

Rasulullah SAW pernah diajak oleh tokoh-tokoh kaum kafir Quraisy untuk tukar-menukar keyakinan dan ibadah agama. Selama satu tahun Nabi SAW dan penganutnya (umat Islam) harus menganut dan mengamalkan keyakinan dan ibadah kaum Quraisy, kemudian selama satu tahun pula kaum kafir Quraisy harus menganut dan mengamalkan aqidab dan ibadah umat Islam. Sehubungan dengan permintaan kaum kafir Quraisy tersebut, turunlah wahyu Allah SWT kepada Nabi SAW yakni Surah Al Kafirun ayat 1- 6 yang berbunyi:

Artinya:
  1. Katakanlah hal orang-orang kafir
  2. Aku tidak akan menyembah apa yang engkau sembah
  3. Dan engkau bukan penyembah Tuhan yang saya sembah
  4. Dan saya tidak pernah menjadi penyembah apa yang engkau sembah
  5. Dan engkau tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang saya sembah
  6. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku
Berdasarkan firman Allah SWT tersebut, maka dengan tegas Rasulullah SAW menolak permintaan tokoh tokoh kaum kafir Quraisy untuk tukar-menukar keyakinan dan ibadah agama itu.
Sumber Pustaka: Erlangga

Post a Comment for "Tasamuh Antara Umat Islam Dengan Umat Beragama Lain"