Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jejak Sejarah Dalam Upacara-Upacara Watak Dari Tempat Di Indonesia

Jejak Sejarah Dalam Upacara-Upacara Adat Dari Daerah Di Indonesia


Upacara-upacara yang berkembang di masyarakat biasanya didasari oleh adanya keyakinan agama, ataupun kepercayaan mereka. Upacara yang yaitu perjuangan insan untuk mencari kekerabatan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. Upacara tersebutjuga dimaksudkan untuk mendapat kemurahan hati para ilahi dan untuk menghindarkan diri dari kemarahan para ilahi yang seringkali diwujudkan dengan aneka macam malapetaka dan peristiwa alam. Upacara Larung Samudro, contohnya yang diselenggarakan setiap tanggal 1 Suro dalam kalender Jawa, dimaksudkan untuk menghindarkan din dan kemarahan Ratu Pantai Selatan sebagai penguasa Laut Selatan.

Dalam keputusasaan, Roro Anteng dan Joko Seger mendaki puncak Gunung Bromo dan berdoa meminta pemberian kepada para dewa. Para ilahi mengabulkan seruan mereka dengan syarat, bahwa anak bungsu yang dilahirkan harus dikurbankan ke dalam kawah pegunungan tersebut. Persyaratan itu disetujui oleh pasangan tersebut. Tidak usang kemudian lahirlah seorang anak dan pasangan itu. Namun, para ilahi bermurah hati, sehingga pada tahun-tahun diberikutnya 24 anak lahir dan pasangan tersebut. Akan tetapi, saat sang ratu mendengar bahwa anaknya yang ke-25 yang berjulukan Kesuma yaitu anak yang terakhir dan harus dikurbankan, beliau tidak tega memenuhi janjinya itu.

Dalam kemarahannya para ilahi mengancam akan memuntahkan api dan welirang dan dalam pegunungan. Pada akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi pasangan itu, kecuali melemparkan putranya yang terakhir ke dalam kawah Gunung Bromo. Segera sehabis pengorbanan dilakukan terdengar bunyi anak itu yang meminta pada masyarakat Tengger dan keturunannya untuk melaksanakan upacara setahun sekali di Gunung Bromo. Upacara itu bertujuan untuk memperingati insiden itu dan untuk meredam kemarahan para dewa.




Adakalanya upacara-upacara itu terkait dengan legenda yang berkembang di kalangan masyarakatnya wacana asal-usul keturunan mereka sehingga upacara itu juga sebagai alat legitirnasi wacana keberadaan mereka ibarat yang tertuang dalam dongeng rakyat itu. Hal mi tampak dalam upacara Kasodo yang diselenggarakan setiap tahun sekali oleh masyarakat Tengger di sekitar Gunung Bromo.

Bagi sebuah kerajaan besar ibarat Majapahit dan Mataram, upacara-upacaa han-han besar kenegaraan dan keagamaan mempunyai anti penting. Upacara tersebut sebagai menunjukan kebemasukan kerajaan, sekaligus juga sebagai alat pemersatu dan wilayah-wilayah yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan pusat.

Sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah terdapat kebiasaan untuk merayakan han besar nasional, baik berupa upacara-upacara keagamaan maupun kenegaraan. Sesudah masuknya agama dan kebudayaan Is1ain upacara tersebut diwarnai dengan unsur-unsur islami. Upacara “Sekaten” misalnya, pada mulanya yaitu upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan meriah pada zajan pemenintahan Batara Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit akhir. 

Upacara tersebut kernudian diubah menjadi upacara “Sekaten” oleh Sunan Kalijaga pada zaman kekuasaan Kerajaan Demak. Nama sekaten yaitu penyesuaian makna dan nama “Jimat Kalimasada” yang berarti Kali-Maha-Usaha (obat mujarab dan Dewi Kali). Pada zaman Islam Kalimasada mendapat makna gres yaitu Kalimat Syahadat. Oleh alasannya itu, perayaan Sekaten yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para wali diubah menjadi menjadi Syahadatain. Upacara mi kemudian dirayakan lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar Mataram. Bahkan, hingga kini upacara tersebut tetap dilakukan setiap tahun di Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam.

Sultan Agung berbagi rintisan para Wali dengan membesarkan perayaan Gerebeg yang berarti Han Besar. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung dikenal adanya 3 macam Gerebeg, yaitu sebagai diberikut.

  1. Gerebeg Pasa, han raya sehabis selesai berpuasa, yakni han raya Idul Fitri,
  2. Gerebeg Besar, han raya Idul Adha, dan
  3. Gerebeg Maulud, perayaan han raya maulid nabi Muhammad s.a.w yang kini menjadi han peringatan “Sekaten”.
melaluiataubersamaini demikian, jelaslah bahwa Sultan Agung sudah melaksanakan proses pembiasaan (penyesuaian) kebudayaan. Tradisi yang sudah berumur usang diadaptasi dengan keadaan zaman yang gres yang didambakan oleh rakyatnya pada waktu itu.

Sumber Pustaka: Yudhistira

Post a Comment for "Jejak Sejarah Dalam Upacara-Upacara Watak Dari Tempat Di Indonesia"