Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Prinsip-Prinsip Dalam Sejarah Lisan

Prinsip-Prinsip Dalam Sejarah Lisan



Sejarah ekspresi atau oral history tidak sama dengan tradisi lisan, yang ialah salah satu kebiasaan yang ada pada masyarakat Indonesia. Sejarah ekspresi mulai dilirik oleh para sejarawan di dunia mabadunga banyak permasalahan kesejarahan tidak terungkap dengan spesialuntuk mengandalkan pada sumber-sumber primer yang berbentuk dokumen ataupun audio visual. 

Hal ini terutama terlihat terperinci ketika kita akan mengungkapkan kehidupan masyarakat bawah, atau masyarakat kebanyakan (history from below). Hal itu dikarenakan dinainika masyarakat bawah, atau acara masyarakat bawah, umumnya tidak tercatat atau jarang ada yang mau mencatatnya. Kalaupun dicatat, biasanya acara itu berkaitan dengan kepentingan yang bersifat nasional atau berafiliasi dengan tokoh-tokoh besar.



Sebagai contoh, bagaimana kita sanggup mengungkapkan tradisi pulang kampung pada masyarakatJawa yang dilakukan menjelang Lebaran? Mengapa di kalangan masyarakat Timur Tengah, bahkan di Malaysia, yang nota bene serumpun dengan masyarakatJawa, tidak ada tradisi pulang kampung ibarat itu? Padahal di kedua wilayah itu pun penduduknya lebih banyak didominasi beragama Islam. Pertanyaannya, apakah lantaran tidak ada dokumen atau bukti tertulisnya, kemudian tradisi pulang kampung itu tidak dianggap tidak ada dalam kehidupan masyarakat?

Adanya realita ibarat inilah yang mendorong para sejarawan mencari alternatif lain dalam mengungkapkan masa lampau itu. Salah satu cara yang ditempuh yaitu dengan mengamati dan mewawancarai pelaku-pelaku sejarahnya. Tentu saja dalam proses wawancara in tahap-tahap metode sejarah tetap diberlakukan. Artinya tahap-tahap heuristik, verifikasi, dan interpretasi tetap berlaku.

Sebelum melaksanakan wawancara, terlebih lampau kita harus mengkritisi si pelaku itu. Pertama, harus dilihat dulu usia dan kesehatannya, berapa usianya kini dan apakah beliau cukup sehat lahir batin? Kedua, harus diteliti, apakah benar tokoh itu yang terkait bersahabat dengan permasalahan (topik) yang hendak kita ungkapkan? Ketiga, hams pula diketahui apakah masih ada tokoh lain yang sezaman dengannya yang sanggup dijadikan perbandingan (cross-check).

Bagi orang yang akan mewawancarainya, sedikit banyak diharapkan pengetahuan umum yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak ditanyakannya. Umumnva bagi para sejarawan yang hendak memakai metode sejarah ekspresi ini, dianjurkan pula untuk memakai ilmu-ilmu menolong ibarat sosiologi, antropologi, dan psikologi. Perlu dipahaini bahwa dalam penelusuran sumber ekspresi ini, metode sejarah sedikit inirip dengan cara penelusuran hadis dalam Islam. Artinya,jika spesialuntuk ada satu orang pelaku yang mempersembahkan kesaksian, umumnya kesaksian itu spesialuntuk.sekedar dijadikan catatan kaki saja. Kesaksian itu tidak sanggup dijadikan dalil, alasannya berdasarkan Louis Gottschalk: “sam saksi dianggap tiada saksi.”

Di Eropa dan Amerika, penulisan sejarah ekspresi sudah banyak dilakukan sejakpertengahan masa ke-20. Sejarawan Indonesia yang memakai metode ini antara lain yaitu Nugroho Notosusanto, dengan karyanya Ten tara Peta pada Zaman Pendudulcan Jepang di Indonesia (1979), dan RZ. Leirissa, dengan karyanya PRRI/Permesta: Strategi Pembangunan Indonesia tanpa Komunis (1992). Sedangkan sejarawan absurd yang menulis ihwal Indonesia dengan memakai sejarah lisan, antara lain yaitu Robert B. Cribb dengan karyanya Jakarta in the Indonesian Revolution (1984).
Sumber Pustaka: Gguaca Exact

Post a Comment for "Prinsip-Prinsip Dalam Sejarah Lisan"