Kronologi Sejarah Dan Latar Belakang Perlawanan Rakyat Aceh
Kedudukan Portugis di Malaka ialah bahaya bagi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, terutama Kerajaan Aceh yang tempat kekuasaannya berdekatan dengan Malaka. Pada ketika itu, Aceh yang berada di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda mencapai puncak kejayaannya. Namun, semenjak men i nggal nya Sultan Iskandar Muda, keadaan kerajaan Aceh mengalami kemunduran, terutama setelah adanya persaingan dengan para imperialis Barat (1630).
The Portuguese's position in. Malacca was a threat to the Islamic kingdoms in Indonesia, especially Aceh Kingdom which was close to Malacca. In that time, Aceh which was under the reign of Sultan Iskandar Muda was at the peak of its glory. However, after Sultan Iskandar Muda died, Aceh Kingdom declined, especially due to the competition with Western imperialists (1630).
Below are the causes of Aceh people's resistance against the Portuguese. "Adapun penyebab perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis yaitu sebagai diberikut":
- The Portuguese wanted to take control of Aceh because Aceh was considered as a strategic region for international trade line.
"Portugis ingin menguasai Aceh, sebab Aceh ialah tempat yang dianggap strategis untuk jalur perdagangan".
- The Portuguese applied trade monopoly which was quite disadvanta-geous to Aceh Kingdom.
"Portugis melaksanakan sistem monopoli perdagangan yang sangat merugikan Kerajaan Aceh".
- Portuguese people prevented Aceh people and other Indonesians from sailing to the Red Sea.
"Bangsa Portugis mencegah orang-orang Aceh dan orang Indonesia lainnya untuk berlayar ke Laut Merah".
- Between 1554 and 1555, the Portuguese sent armed ships on purpose to capture Aceh ships and the ships of Gujarati mechants.
"Pada tahun 1554-1555, bangsa Portugis sengaja mengirim kapal-kapal yang dilengkapi persenjataan untuk menangkap kapal-kapal Aceh dan pedagang-pedagang dari Gujarat".
Starting from 1569, the Portuguese attempted to destroy Aceh by be-sieging it for three years. However, Aceh army managed to defeat the Portuguese. The destruction of Portuguese armada began with an attack on Portuguese ships in Malacca Strait by Aceh troops. The attacked successfully expelled the Portuguese from Malacca.
Sejak tahun 1569, Portugis berusaha menghancurkan Aceh dengan mengepungnya selama tiga tahun. Tetapi, tentaraAceh berhasil menghancurkan Portugis. Hancurnya armada Portugis diawali dengan penyerangan terhadap kapal-kapal Portugis di Selat Malaka oleh tentara Aceh. Serangan tersebut berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
Western colonialists that wanted to colonize Aceh were not only the Portugttese. The Dutch also attempted to take control of Aceh. This en-raged Aceh people, so they rose to resist the Dutch.
Kolonial Barat yang mencoba menjajah Aceh bukan spesialuntuk Portugis. Belanda pun berusaha untuk menguasai Aceh. Hal ini mengakibatkan kemarahan rakyat Aceh, sehingga mereka berdiri untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Here are the factors which caused the war between Aceh and the Dutch. Faktor penyebab terjadinya perang antara Aceh dani3elanda yaitu sebagai diberikut.
- The Dutch wanted to take control of Aceh, a strong kingdom with high capability in diplomacy. "Belanda ingin menguasai Aceh yang ialah kerajaan yang besar lengan berkuasa dan mempunyai kemampuan diplomatik tinggi"
- The existence of London Treaty (1824) and Sumatra Treaty (1871) which gave Aceh an opportunity to strengthen itsell.
"Adanya Traktat London (1824) dan Traktat Sumatra (1871), memdiberi peluang kepada Aceh untuk memperkuat dirinya".
Aceh's diplomatic ability was proven by the establishment of diplomatic relationship betweena Aceh and several countries, such as Turkey, Italy, and United States. The Dutch were afraid of losing the competition, so they demanded Acehe to recognize Dutch sovereignty in Nusantara. Yet, Aceh people denided the Dutch's demand. As a result, on 26 March 1873 the Dutch declared war with Aceh. The Dutch sent troops consisting of 3,000 soldiers under the command of Major General Kohler. However, the attacked failed, and Major General Kohler was killed in front of Baiturrahman Mosque.
Kemampuan diplomatik Aceh terbukti dengan terjalinnya korelasi diplomatik antara Aceh dengan beberapa negara, seperti: Turki, Italia, dan Amerika Serikat. Belanda merasa takut tersaingi, sehingga Belanda menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatannya di Nusantara. Tetapi, rakyat Aceh menolak keinginan Belanda. Akibatnya, pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda memaklumatkan perang terhadap Aceh. Belanda mengirimican pasukan sebanyak 3.000 orang yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler. Namun, serangan tersebut mengalami kegagalan dan Mayor Jenderal Kohler tewas di depan Masjid Baiturrahman.
General van Swieten was assigned by the Dutch to command the next attack. A sever battle went on for two weeks. In the battle, the Dutch managed to capture the Palace Aceh Kingdom. Nevertheless, the sultan and his family could escape to Luengbata. On 28 January. 1874, Sultan Muhammad Syah died and he was replaced by his son who was still a child, Sultan Muhammad Daud Syah. He was assisted by `Dewan Mangkubutni' (Board of Ministers) which was chaired by Tuanku Hasyim. The sultan resided in Keumala.
Jenderal van Swieten ditugaskan oieh Belanda untuk memimpin penyerangan diberikutnya. Pertempuran berlangsung dengan andal selama dua minggu. Pada pertempuran tersebut,13elanda berhasil merebut Istana Kerajaan Aceh. Namun, sultan beserta keluarganya berhasil menyelamatkan diri ke Luengbata. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Muhammad Syah meninggal dan digantikan oleh putranya yang masih kecil, yaitu Sultan Muhammad Daud Syah. Ia dimenolong oleh sebuah Dewan Mangkubumi yang diketuai oleh Tuanku Hasyim. Sultan berkedudukan di Keumala.
Meanwhile, a transfer of command occurred from Van Swieten to Major General Pel. He strengthened his defense by building some posts in Kutat4aja, Krueng Aceh, and Meuraksa. On 24 February 1876, Major General Pel was killed in a battle against Aceh people in Tonga. The arrival of Habib Abdurrachman as an envoy from Turkey increased the spirit of Aceh people in their struggle to resist the Dutch.
Sementara itu, terjadi pergantian pemimpin dari Van Swieten kepada Mayjen Pel. Ia memperkuat pertahanan dengan mernbangun sejumlah pos di Kutaraja, Krueng Aceh, dan Meuraksa. Pada tanggal 24 Februari 1876, Mayjen Pel tewas di tempat Tonga dalam pertempurannya dengan rakyat Aceh. Kehadiran Habib Abdurrachman ke Aceh sebagai utusan Turki, menambah semangat rakyat Aceh dalam berjuang melawan Belanda.
Aceh has born many great freedom fighters, such as Tengku Cik di Tiro, Panglima Polim, Teuku Cik Peusangan, Cut Meutia, Cut Nyak Dien, and Teuku Umar. The led Aceh people to struggle against the colonialists. They believed that the struggle to defend the state was a holy task from Allah (Jihad fisabilillah). Therefore, they never surrendered not felt discouraged in their sitruggle. Dying in battle was something they expected most.
Aceh sudah melahirkan beberapa pejuang, seperti: Tengku Cik di. Tiro, Panglima Polim, Teuku Cik Peusangan, Cut Meutia, Cut Nyak Dien, dan Teuku Umar. Mereka memimpin rakyat Aceh untuk berjuang melawan penjajah. Mereka meyakini bahwa usaha mempertahankan negara ialah kiprah suci yang didiberikan Allah kepada mereka (Jihad fisabilillah). Oleh sebab itu, mereka tidak pernah mengalah atau surut dalam berjuang. Mati ketika berada di medan perang yaitu sesuatu yang dicita-citakan oleh mereka.
The consecutive failures of the Dutch to defeat Aceh troops compelled them to change their strategy. They used a centralization tactic which stressed on controlling the areas which they had captured. Besides, they used a divisive strategy which was proposed by General Deykerhoff. Nevertheless, the two tactics could not end the Aceh War
Kegagalan Belanda yang terjadi secara berturut-turut dalam melawan pasukan Aceh, mendorong Belanda untuk mengubah strategi. Mereka memakai siasat sentralisasi yang menitikberatkan kekuasaan pada daerah-daerah yang sudah dikuasai. Selain itu, Belandatjuga memakai siasat mencerai-beraikan yang diusulkan ojeh Jenderal Deykerhoff. Namun, kedua siasat tersebut tidak bisa mengakhiri Perang Aceh.
Finally, the Dutch sent .Dr. Snouck. Hurgronje, an expert in Islamic studies, to inverstigate Aceh people and give input to the government of Dutch East Indies concerning the strategy to cons trol Aceh people. According to Dr. Snouck Hurgronje, the wary to face Aceh people was to understand their character while attacking Aceh leaders. Dr. Snouck Hurgronje wrote about the condition of Aceh people in his book titled Atjehers' (The Aceh People).
Akhirnya, Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronje, spesialis kajian Islam untuk menyelidiki masyarakat Aceh dan memdiberi masukan kepada pemerintah Hindia Belanda wacana taktik untuk menguasai rakyat Aceh. Menurut Dr. Snouck Hurgronje, cara menghadapi rakyat Aceh yaitu dengan memahami abjad mereka sambil melaksanakan penyerangan terhadap para pemimpin Aceh. Dr. Snouck Hurgronje menuliskan wacana keadaan masyarakat Aceh dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" (The Aceh People).
In 1899, Colonel van Heutsz who commanded the attack started to use a violent tactic. He formed a special anti-guerilla force named Marechausse. In 1903, Dutch troops succeeded in capturing some sultanate families. One by one, the leaders of Aceh was killed or captured. This forced Sultan Muhammad Daud Syah to sign the Karte Verklaring (Short Placard) in 1904.
Pada tahun l899, Kolonel van Heutsz yang memimpin penyerangan mulai menjalankan siasat kekerasan. Ia membentuk pasukan khusus antigerilya yang didiberi nama Marechausse (Marsose). Pada tahun 1903, pasukan Belanda berhasil menawan kerabat kesultanan. Satu, demi satu, pemimpin Aceh pun gugur atau tertangkap. Hal ini mengakibatkan Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa menanhadirani Karte Verklaring (F'lakat Pendek) pada tahun 1904.
Sumber Pustaka: Yrama Widya
Post a Comment for "Kronologi Sejarah Dan Latar Belakang Perlawanan Rakyat Aceh"