Latar Belakang Dan Bencana Sebelum Peralihan Kekuasaan
Beberapa insiden penting sebelum peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto antara lain Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), Reshuffle Kabinet, dan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966.
A. Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura)
Aksi-aksi demonstrasi yang dilalakan Front Pancasila terus berlangsung tidak spesialuntuk di Jakarta, tetapi juga di aneka macam daerah. Tuntutan yang disampaikan tidak lagi spesialuntuk terkena pembubaran PKI, tetapi juga terkena perbaikan ekonomi dan pembubaran kabinet. Tuntutan perbaikan ekonomi disampaikan sebab masyarakat semakin susah memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk membeli beras dan materi bakar minyak misalnya, orang harus mengantre berjam-jam. Selain itu, mereka menuntut biar Kabinet Dwikora juga segera dibubarkan sebab sebagian besar anggota kabinetnya, diberindikasi terlibat dalam Peristiwa G-30-S / PKI. Ketiga tuntutan itu kemudian dikenal dengan Tritura yang isinya yaitu sebagai diberikut:
1) Bubarkan Partai Komunis Indonesia.
2) Retool Kabinet Dwikora.
3) Turunkan harga/Perbaikan ekonomi.
B. Reshuffle Kabinet Karena semakin meningkatnya aksi-aksi demonstrasi, maka Presiden Soekarno terpaksa mengadakan reshuffle kabinet. Kabinet Dwikora menjadi Kabinet Dwikora yang disempurnakan dengan cara menambah jumlah anggotanya menjadi 102 orang.
Pelantikan kabinet yang berlangsung pada tanggal 24 Februari 1966 diwarnai agresi demonstrasi secara besar-bemasukan. KAMI melaksanakan agresi turun ke jalan sehingga lalu-lintas mudah terhenti total. Dalam agresi demonstrasi itu seorang mahasiswa UI, yaitu Arief Rachman Hakim gugur terkena peluru nyasar anggota Pasukan Cakrabirawa.
Pada keesokan harinya Presiden Soekarno menyatakan pembubaran KAMI. Pusat acara KAMI, yaitu Kampus UI ditetapkan tertutup bagi mahasiswa. Oleh sebab itu, mahasiswa kembali turun ke jalan dan menamakan dirinya Kabinet Jalanan.
C. Sidang Kabinet 11 Maret 1966
Pada tanggal 11 Maret 1966, diadakan sidang kabinet untuk mencari jalan keluar dari aneka macam krisis yang semakin memuncak. Untuk mengamankan jalannya sidang itu, satu pasukan yang tidak mengenakan tanda pengenal ditempatkan di sekitar istana. Pasukan itu ternyata pasukan Kostrad yang dipimpin oleh Kepala Stafnya Letjen Kemal Idris.
Mereka ditugaskan untuk mengamankan jalannya pelaksanaan sidang tanpa sepengetahuan pihak lain. Melihat pasukan yang tidak dikenal itu, Komandan Pasukan Cakrabirawa segera memberikan kepada Presiden bahwa ada pasukan liar di sekitar istana. Presiden segera bergegas meninggalkan sidang kabinet, diikuti oleh Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh. Mereka berangkat ke Bogor dengan memakai helikopter.
Sidang kabinet kemudian ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena. Sesudah sidang ditutup, tiga orang Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia AD, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud menyusul Presiden ke Istana Bogor. Maksud mereka untuk meyakinkan Presiden bahwa pasukan yang disebut liar dan berada di sekitar istana bahwasanya Pasukan Kostrad yang sengaja ditempatkan untuk mengamankan jalannya sidang.
Selain itu, Presiden perlu juga diyakinkan bahwa ABRI, khususnya Angkatan Darat, akan tetap setia dan bersedia setiap dikala untuk mengatasi keadaan. Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu lebih lampau meminta izin dan petunjuk dari Letjen Soeharto yang hari itu tidak menghadiri sidang sebab sakit. Niat ketiga perwira tinggi untuk menyusul Presiden ke Bogor disetujui dengan pesan biar Presiden tidak perlu khawatir. ABRI sanggup menyelamatkan Pancasila dan UUD 1945, serta bisa meng-amankan Republik Indonesia asal didiberi kepercayaan.
D. Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)
Di Istana Bogor, ketiga perwira tinggi itu mengadakan pembicaraan dengan Presiden Soekarno yang didampingi oleh Waperdam Soebandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh. Akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah surat perintah yang ditujukan kepada Letjen Soeharto biar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna mengatasi keadaan.
Surat Perintah 11 Maret 1966 yang sudah mengantarkan Soeharto menjadi Presiden selama 32 tahun, keabsahannya mulai diperdebatkan banyak pihak, setelah pemerintahan Orde Baru berakhir. Sementara itu, berdasarkan Mukhlis Paeni Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), ada dua copy naskah Supersemar yang disimpan pihaknya.
Naskah pertama diterbitkan oleh Pusat Penerangan Angkatan Darat dan naskah kedua oleh Setneg yang termuat dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Dari kedua naskah itu, terdapat 23 macam perbedaan, mulai dari isi naskah, titik, koma, j.enis huruf, dan tanda tangan.
Dari kedua naskah itu , belum sanggup dipastikan mana yang asli. Agaknya misteri SP 11 Maret 1966 akan tetap terselubung dalam waktu yang lama, mengingat para saksi keluarnya surat perintah itu sudah tiada.
Daftar Pustaka: Yudhistira
Post a Comment for "Latar Belakang Dan Bencana Sebelum Peralihan Kekuasaan"