Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengaruh Sistem Dan Struktur Politik Demokrasi Terpimpin

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pada awalnya disambut gembira. Rakyat yang sudah usang mendambakan stabilitas politik menggantungkan harapan pada berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Namun, lantaran demokrasi terpimpin yang diterapkan tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 maka alhasil menimbulkan perperihalan di antara partai politik dan antara partai politik dengan pemerintah. 

Pada tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno memberikan pidato dengan judul "Penemuan Kembali Revolusi Kita". Isi pidato itu bergotong-royong ialah klarifikasi dan pertanggungjawabanan atas Dekrit Presiden 5 Juli 1955. Di samping itu, pidato tersebut juga meliputi garis kebijakan presiden secara umum dalam mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin. 

Pada bulan September 1959, dalam sidangnya, DPA mengusulkan biar pidato Presiden itu dijadikan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan nama Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Usul DPA diterima dan disahkan sebagai GBHN dengan Penetapan Presiden No. I Tahun 1960. 

Selanjutnya, dengan Ketetapan MPR (S) No. I/MPRS / 1960, Manipol diputuskan sebagai GBHN. Kemudian, dalam ketetapan itu diputuskan pula bahwa pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, berjudul "Jalannya Revolusi Kita" (Jarek) dan pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di depan Sidang Umum PBB dengan judul " To Build the World a New" (membangun dunia kembali), ialah pelaksanaan Manipol. Dasar politik haluan negara yang disebut Manipol Republik Indonesia ialah arah politik yang berpedoman kepada: 

1) Undang-Undang Dasar 1945,
2) Sosialisthe Indonesia,
3) Demokrasi Terpimpin,
4) Ekonomi Terpimpin, dan
5) kepribadian bangsa Indonesia. 

Kelima fatwa itu disingkat USDEK sehingga menjadi terkenal dengan sebutan Manipol Usdek. Perkembangan politik dikala itu mengundang reaksi dari aneka macam pihak antara lain sebagai diberikut."

1) Nandlatul Ulama (NU)

Mereka mengecam pembubaran dewan perwakilan rakyat hasil pemilu 1955 dan mengancam akan menarikdanunik pencalonan anggota-anggotanya dari dewan perwakilan rakyat (GR). Namun, setelah ada akad penambahan jumlah dingklik untuk NU, perilaku mereka pun melemah. Walaupun demikian, nada-nada keras masih tetap dilontarkan NU. Melalui Rois Aam, K.H. Wahab Hasbullah, mereka menyampaikan bahwa NU tidak sanggup duduk bersama PKI dalam kabinet dan NU sesungguhnya menolak Kabinet Nasakom.

2) Partai Nasional Indonesia (PNI)

Dari kalangan PNI muncul pula reaksi Mr. Sartono, Ketua dewan perwakilan rakyat hasil pemilu 1955 dan Mr. Ishaq Tjokroadisoerjo. Mereka menyampaikan anggota PNI yang duduk dalam dewan perwakilan rakyat (GR) bukan sebagai wakil PNI lantaran keberadaan mereka hasil penunjukan.

3) Masyumi dan Parindra

Dari Masyumi, reaksi keras berasal dari Prawoto Mangkusasmoto, sedangkan reaksi dari Parindra berasal dari Sutomo. Mereka dalam suratnya pada tanggal 22 Juni 1960 mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Agung. Dalam surat itu Sutomo menyampaikan bahwa kabinet yang dibuat Presiden Soekarno ialah pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945, khususnya tindakan pembubaran dewan perwakilan rakyat hasil pemilu. 

Mereka yang menentang pembentukan dewan perwakilan rakyat (GR) kemudian membentuk Liga Demokrasi dengan ketuanya Imron Rosyadi. Di dalam liga itu tergabung beberapa tokoh dari NU, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslim, PSII, IPKI, dan Masyumi. Liga Demokrasi ternyata tidak berhasil dengan tuntutan-tuntutannya. Bahkan liga demokrasi dibubarkan oleh presiden.

Selain MPR(S) dan dewan perwakilan rakyat (GR), melalui Penpres No 13 Tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk Front Nasional yang diketuainya sendiri. Disebutkan bahwa Front Nasional ialah organisasi massa yang dibuat dengan tujuan memperjuangkan impian proklamasi dan impian yang terkandung di dalam UUD'45. 

Selanjutnya, melalui Keputusan Presiden No 94 tahun 1962 dilakukan pengintegrasian lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara meliputi MPR(S), DPR(GR), DPA, Depernas, dan Front Nasional dengan Eksekutif. Melalui pengintegrasian itu, pimpinan lembaga-lembaga tersebut diangkat menjadi menteri yang turut serta merumuskan dan mengamankan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Dampak lain dari acara politikepada masa Demokrasi Terpimpin ialah kuatnya dominasi Partai Komunis Indonesia (PKI). melaluiataubersamaini alasan Manipol Usdek, PKI menyatakan bahwa " revolusi belum selesai" . Oleh lantaran itu, rakyat dihimbau untuk bersatu menuntaskan tahapan-tahapan revolusi dari tahap nasional demokrasi dan sosialis.

Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom) yang diajarkan Soekarno dianggap PKI sangat menguntungkan pihaknya lantaran menempatkan partai itu sebagai kepingan yang sah dalam konstelasi politik Indonesia. Presiden Soekarno juga beranggapan aliansinya dengan PKI menguntungkan sehingga PKI ditempatkan pada barisan terdepan dalam Demokrasi Terpimpin. 

Usaha-usaha untuk sanggup memperoleh lebih banyak pertolongan dari masyarakat dilanjutkan oleh para tokoh PKI. D.N. Aidit sebagai Ketua Central Comite (CC PKI) selalu menyampaikan di dalam rapat-rapat umum sebagai diberikut "Siapa pun yang baiklah terhadap Nasakom, harus pula mendapatkan Pancasila sebagai alat pemersatu".

Akan tetapi dalam ceramahnya di depan Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora pada tahun 1964, Aidit mengatakan, "bila kita sudah mencapai tarap hidup adil makmur dan sosialisme Indonesia sudah tercapai maka Pancasila tidak diharapkan lagi" Pernyataan Aidit itu membuat masyarakat heboh. 

Pada peluang lain ia mencoba meluruskan dengan menyampaikan sebagai diberikut, "dan disinilah betulnya Pancasila sebagai alat pemersatu. Sebab jikalau kita sudah jadi satu, Pancasila tidak perlu lagi. Sebab Pancasila alat pemersatu bukan ? Kalau sudah satu apa lagi yang harus dipersatukan?"

 Rakyat yang sudah usang mendambakan stabilitas politik menggantungkan harapan pada berlaku Pengaruh Sistem dan Struktur Politik Demokrasi Terpimpin

Pada masa Demokrasi Terpimpin, kedudukan PKI memang sangat kuat. Kader-kader partai itu banyak yang duduk dalam seluruh forum tinggi negara yang ada. Usaha TNI-Angkatan Darat untuk mengimbangi kekuatan PKI dalam lembaga-lembaga tinggi negara selalu tidak berhasil lantaran pertolongan yang didiberikan Presiden Soekarno kepada PKI.

Kebijakan Ekonomi Pemerintah dan Kondisi Ekonomi Nasional  
Akibat terjadinya gangguan keamanan dalam negeri di antaranya pemberontakan PRRI-PERMESTA, ekonomi dan keuangan negara sangat suram. Untuk mengatasinya, pemerintah menempuh beberapa kebijakan di antaranya sebagai diberikut:

1) Pada tanggal 25 Agustus 1959, uang kertas dengan nilai nominal Rp. 5000,00 didevaluasi menjadi Rp50,00 dan yang bernilai Rp1000,00 menjadi sepersepuluh dari nilai nominalnya.

2) Membekukan tiruana simpanan di bank-bank yang melebihi Rp25.000,00.

Kebijakan yang ditempuh itu ternyata gagal mencegah semakin merosotnya ekonomi dan keuangan negara. Indeks biaya hidup pada tahun 1961-1962 mengalami kenaikan 70 yang berarti mengalami kenaikan 225 % dari indeks tahun 1960. 

Pada tanggal 28 Maret 1963, pemerintah mengeluarkan kebijakati gres yaitu Deklarasi Ekonomi (Dekon) beserta 14 peraturan pokoknya. Dekon ditetapkan sebagai taktik dasar ekonomi Indonesia yang menjadi taktik umum Revolusi Indonesia. 

Dekon bertujuan membuat ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosial Indonesia dengan cara terpimpin. Namun dalam pelaksanaannya, ekonomi dan keuangan negara tidak semakin baik, bahkan sebaliknya. Harga-harga kebutuhan masyarakat naik mencapai 400 %. Hal ini disebabkan Pemerintah lebih menonjoikan sistem terpimpin. 

Akibatnya, struktur ekonomi Indonesia menjurus ke sistem etatisme, menyerupai di negara-negara komunis. Segala sesuatu yang menyangkut ekonomi dan keuangan diatur dan dikendalikan oleh negara, sedangkan lembaga-lembaga keuangan yang berwenang untuk bidang itu diabaikan. 

Berdasarkan Penetapan Presiden No 8/ 1965 yang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 1965, organisasi bank-bank pemerintah dipusatkan pada satu tangan, yaitu Menteri Urusan Bank Sentral. Bank-bank pemerintah menjadi unit dari Bank Negara Indonesia (BNI). Tindakan itu justru menimbulkan timbulnya spekulasi dan penyelewengan penerapan uang negara tanpa adanya kontrol atau pengawasan.


Daftar Pustaka: Yudhistira

Post a Comment for "Pengaruh Sistem Dan Struktur Politik Demokrasi Terpimpin"