Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Sesuai dengan aturan perang, Sekutu yang keluar sebagai pemenang dalam Perang Asia- Pasifik berhak mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang di Indonesia. Sekutu kemudian membentuk Komando Asia Tenggara (South East Asia Command/SEAC) di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten.
Mountbatten selanjutnya membentuk sebuah komando khusus yang didiberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison dengan tugasnya sebagai diberikut:
a. Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.
b. Melucuti dan mengumpulkan orang-orang Jepang untuk kemudian dipulangkan ke negaranya
c. Menegakkan dan mempertahankan keadaan hening untuk diserahkar. kepada pemerintah sipil.
d. Menghimpun keterangan wacana para pelaku kejahatan perang, kemudian dituntut sesuai dengan hukum.
Pasukan AFNEI yang gres mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945, terdiri atas 3 divisi, yaitu sebagai diberikut:
a. Divisi India ke-23 dipimpin oleh Mayor Jenderal D. C. Hawthorn, menguasai kawasan Jawa Barat.
b. Divisi India ke-5 dipimpin oleh 11/Uyor Jenderal E. C. Mansergh, menguasai kawasan Jawa Timur.
c. Divisi India ke-26 dipimpin oleh Mayor Jenderal H. M Chambers, menguasai kawasan Sumatra.
c. Divisi India ke-26 dipimpin oleh Mayor Jenderal H. M Chambers, menguasai kawasan Sumatra.
Pasukan AFNEI spesialuntuk menduduki Daerah Jawa dan Sumatra saja, sedangkan daerah-daerah lainnya diserahkan kepada pasukan Australia. Kehadiran tentara Sekutu pada mulanya disambut baik oleh rakyat Indonesia. Namun, kehadirannya turut diboncengi oleh tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang bermaksud menjajah kembali Indonesia sehingga rakyat Indonesia berubah sikap.
Berbagai pertempuran pun pecah di banyak sekali kawasan antara tentara dan rakyat Indonesia yang ingin mempertahankan kemerdekaannya melawan NICA dan Sekutu. Upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam menghadapi kembalinya Belanda di Indonesia ditempuh melalui usaha bersenjata dan diplomasi.
1) Pertempuran Surabaya
Tentara Sekutu dari Divisi ke-49 yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober1945. Mereka mengemban kiprah melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu. Kehadiran mereka diterima oleh Gubernur Soerjo. Pertemuan antara wakil-wakil pemerintah RI dengan Brigjen A.W.S Mallaby berhasil mencapai kesepakatan sebagai diberikut:
a) Inggris berjanji tidak akan menyertakan tentara NICA.
b) Kedua belah pihak akan bekerja sama untuk menjamin keamanan dan ketertiban.
c) Akan dibuat kontak agen biar kolaborasi berjalan baik.
d) Inggris spesialuntuk melucuti tentara Jepang.
Pemerintah RI kemudian memperkenankan pasukan Sekutu memasuki kota Surabaya. Namun, pada kenyataannya pasukan Sekutu mengingkari kesepakatan tersebut. Pada tanggal 27 Oktober 1945, mereka menyerbu penjara-penjara serta membebaskan para tawanan perang dan pegawai RAPWI (Relief of Allied Prisoners of War and Internees) yang ditawan Republik.
Keesokan harinya, mereka menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar Gedung Iternatio, dan objek-objek vital lainnya. Tindakan tentara Sekutu itu menimbulkan pos-pos Sekutu di seluruh Kota Surabaya diserang oleh rakyat. Pertempuran antara rakyat dengan tentara sekutu pun terjadi.
Pertempuran itu membuat kedudukan tentara Sekutu kritis. Bahkan, Brigjen A.W.S Mallaby nyaris terbunuh. Komandan pasukan Sekutu kemudian meminta kepada Presiden Soekarno untuk meredakan ketegangan. Pertempuran terus berlangsung hingga tanggal 30 Oktober 1945.
Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Syahrir terpaksa hadir ke Surabaya untuk meredakan rakyat atas seruan komandan tentara Sekutu. Perdamaian berhasil dicapai, tetapi sehabis para pemimpin Indonesia itu kembali ke Jakarta, pertempuran kembali meletus dan menjadikan Mallaby terbunuh.
Peristiwa terbunuhnya Mallaby menimbulkan kemarahan tentara Sekutu. Mereka kemudian menhadirkan satu divisi tentara Sekutu di bawah pimpinan Mayor Jenderal Mansergh dengan jumlah anggota sebanyak 24.000 orang. Pada tanggal 9 November 1945, Inggris mengeluarkan ultimatum bahwa mereka akan mengadakan serangan melalui darat, laut, dan udara, apabila rakyat tidak menaati perintah komando tentara Sekutu.
Bunyi ultimatum tersebut sebagai diberikut: "... bahwa tiruana pemimpin bangsa Indonesia di Surabaya harus hadir ke tempat-tempat yang sudah ditentukan dengan meletakkan tangan di atas kepala dan menanhadirani dokumen mengalah tanpa fro tb syarat yang sudah disediakan.
Bagi cowok yang bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris dan membawa bendera putih. Mereka harus hadir selambat-lambatnya pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Ultimatum itu sama sekali tidak dihiraukan oleh pemimpin dan rakyat Surabaya sebab dianggap sebagai penghinaan.
Rakyat Surabaya justru membuat pertahanan kota dengan mengangkat Sungkono sebagai komandannya, didukung oleh unsur-unsur kekuatan rakyat. Bung Tomo membangkitkan semangat juang rakyat melalui radio di Jalan Muwar 4.
Sesuai dengan ultimatum sebelumnya, Inggris menggempur Surabaya, baik melalui darat, laut, maupun udara. Pertempuran 10 November di Surabaya dilambangkan oleh para pemimpin tentara Inggris dengan menyebutnya "Neraka Surabaya" yang sudah menelan korban jiwa sangat besar dari kedua belah pihak.
Bagi Indonesia sendiri pertempuran 10 November di Surabaya adalah bukti keberanian dan keperkasaan bangsa yang ingin tetap mempertahankan kemerdekaan dan membela tanah air Indonesia dari segala penjajahan. Rakyat Indonesia bertekad "Sekali merdeka tetap merdeka". Peristiwa dahsyat 10 November kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan oleh seluruh rakyat Indonesia.
2) Pertempuran Ambarawa
Pertempuran di Jawa Tengah terjadi di Ambarawa pada tanggal 21 November 1945 hingga tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran itu dilatarbelakangi oleh kejadian di Magelang sehabis Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 Tentara Sekutu mendarat di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Pemerintah RI memperkenankan mereka mengurus tawanan yang ada di penjara Ambarawa dan Magelang.
Ternyata kehadiran mereka diboncengi oleh NICA dan mempersenjatai para bekas tawanan itu sehingga menimbulkan pecahnya pertempuran hebat. Pertempuran gres terhenti sehabis Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethel mengadakan perundingan. Namun, Hasil negosiasi itu ternyata diingkari oleh pihak Sekutu, maka pada tanggal 20 November pecah perang dahsyat.
Pihak Sekutu dihadapi oleh TKR di bawah pimpinan Mayor Soemarto. Tokoh-tokoh TKR lainnya yang juga populer dalam pertempuran Ambarawa ini antara lain Mayor Imam Androngi, Mayor Soeharto, Mayor Sardjono, Moh. Sarbini, dan Onie Sastroatmodjo.
Dalam pertempuran tanggal 26 November 1945 tersebut, komandan pasukan dari Purwokerto, yaitu Kolonel Isdiman gugur. Sejak itu, Kolonel Soedirman yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Divisi Purwekerto mengambil alih pimpinan pasukan. Sesudah mempelajari dengan saksama, pada tanggal 11 Desember 1945, ia menyimpulkan bahWa musuh sudah terjepit sehingga perlu diadakan koordinasi yang baik untuk mengadakan serangan sekaligus.
Pada tanggal 12 Desember 1945 Jam 04.30 WIB, pasukan TKR mulai meng-adakan serangan dari banyak sekali sektor dan berhasil mengepung musuh yang bertahan di dalam kota. Benteng Willem di tengah-tengah Kota Ambarawa yang dijadikan sentra kekuatan Sekutu berhasil direbut. Pada tanggal 15 Desember 1945, Tentara Sekutu kemudian menghentikan pertempuran. Mereka terpaksa meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke Kota Semarang.
melaluiataubersamaini demilcian, Pertempuran Ambarawa yang kemudian populer dengan Palagan Ambarawa berakhir. Kolonel Soedirman dikenal sebagai Pahlawan Palagan Ambarawa sebab keahliannya dalam menyusun taktik untuk melumpuhkan perlawanan Sekutu. Tanggal 15 Desember kemudian diperingati sebagai Hari Juang Tentara Nasional Indonesia AD.
3) Pertempuran Medan Area
Di luar Pulau Jawa terjadi pula pertempuran-pertempuran hebat, antara lain pertempuran di Sumatra Utara. Tentara Sekutu dan NICA yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly mendarat di kawasan ini pada tanggal 9 November 1945.
Kehadiran mereka tiruanla diterima baik oleh pemerintah kawasan dengan menempatkan mereka di beberapa hotel, menyerupai Hotel de Boer, Grand Hotel, dan Astoria Hotel. Sebagian lagi ditempatkan di Binjai dan Tanjung Morawa. Sikap ini diambil sebagai penghormatan terhadap pasukan Sekutu sehubungan dengan kiprah yang diembannya. Namun, ternyata perilaku baik para pemimpin Indonesia itu diabaikan oleh Sekutu yang sudah terpengaruh oleh NICA.
Insiden pertama terjadi di Jalan Bali Medan, berawal dari seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih. Akibatnya, para cowok menyerbu hotel. Dalam kejadian itu, kurang lebih 96 orang yang sebagian besar orang-orang NICA mengalami luka berat.
Insiden itu kemudian menjalar ke daerah-daerah lain, menyerupai Pemantang Siantar, dan Brastagi. Insiden yang berkepantidakboleh itu menimbulkan pasukan TKR yang di pimpin Achmad Taher mengadakan perlawanan. Mereka diperkuat oleh bekas Giyugun dan Heiho dari seluruh Sumatra Barat.
Pimpinan tentara Sekutu di Sumatra Barat, yaitu Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly mengeluarkan ultimatum biar rakyat Indonesia menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Ultimatum itu tidak diindahkan oleh seorang pun. Para cowok bahkan membentuk sebuah komando yang didiberi nama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Di bawah komando resimen itu, para cowok pejuang dan rakyat saling bahumembahu meneruskan usaha menentang Sekutu dan NICA.
4) Pertempuran Karawang Bekasi
Di Jawa Barat, pertempuran-pertempuran yang hebat pun terjadi semenjak pendaratan tentara Sekutu bersama NICA pada bulan September 1945 di Tanjung Priok. Sejak kehadirannya, mereka membuat teror dan tekanan-tekanan terhadap rakyat dan pemerintahan di Jakarta.
Pertempuran pun kesannya meletus dan meluas ke kawasan Krawang-Bekasi yang berlangsung pada tanggal 19 Desember 1945. Serangan-serangan tentara Sekutu dan NICA yang semakin meningkat menimbulkan presiden dan wakil presiden serta para pemimpin lainnya mengambil keputusan hijrah ke Yogyakarta.
5) Peristiwa Bandung Lautan Api
Sejak pertengahan bulan Oktober 1945, tentara Sekutu mulai memasuki Kota Bandung. Seperti halnya di kota-kota lain, tentara Sekutu dan NICA melaksanakan teror terhadap rakyat sehingga pertempuran-pertempuran pun tak sanggup dielakkan.
Dalam menghadapi teror yang dilakukan oleh tentara Sekutu dan NICA, semangat juang para cowok Jawa Barat yang tergabung dalam TKR, laskar-laskar perjuangan, dan rakyat pada umumnya semakin menggelora. Kota Bandung kesannya terbagi dua, yaitu Bandung Utara yang di duduki oleh tentara Sekutu dan Bandung Selatan yang diduduki oleh Republik Indonesia.
Rel kereta api yang membentang dari timur ke barat kota Bandung dijadikan batas kedua wilayah itu. Pembagian Kota Bandung itu sesuai dengan garis politik diplomasi yang ditempuh kedua belah pihak. Namun, sebab pihak Sekutu kemudian menuntut pengosongan sejauh sebelas kilometer dari Bandung Selatan, maka meletus lagi pertempuran dan aksi bumi hangus. Bandung menjadi lautan api dari batas timur Cicadas hingga batas barat Andir. Kurang lebih satu setengah juta penduduk Kota Bandung mengungsi ke luar kota dan memadati jalandalan raya.
Pada tanggal 23 dan 24 Maret 1946, rakyat Bandung meninggalkan kotanya yang sebagian besar sudah menjadi puing-puing. Peristiwa ini kemudian diawetkan dalam sebuah lagu "Halo-Halo Bandung". Tokoh-tokoh pejuang yang populer dalam pertempuran-pertempuran hingga terjadi Bandung Lautan Api, antara lain Arudji Kartawinata, Sutoko, Nawawi Alib, Kolonel Hidayat, Otto Iskandardinata, Kolonel A. H. Nasution (Panglima Divisi III Jawa Barat), dan cowok Moh. Toha yang populer sebab keberaniannya berjibaku untuk menghancurkan gudang mesiu milik NICA.
6) Pertempuran Margarana
Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946 Belanda mendaratkan kurang lebih 2000 orang tentaranya di Bali. Pada ketika tentara Belanda mendarat di Bali, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai sedang berada di Yogyakarta. Sesudah kembali dari Yogyakarta, ia mendapati pasukannya tercerai-berai. Selain itu, situasi politik juga tidak menguntungkan Bali sebab sesuai dengan Persetujuan Linggajati, Bali tidak termasuk belahan dari Republik Indonesia.
Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai pun dibujuk oleh Belanda biar mau bekerja sama, tetapi ditolaknya dengan tegas. Sesudah merasa kekuatan pasukannya mulai cukup, Ngurah Rai eksklusif mengadakan penyerangan terhadap Belanda di Tabanan. Serangan itu berhasil dan satu detasemen polisi lengkap dengan senjatanya ditawan.
Akibat kejadian itu, Belanda mengerahkan seluruh kekuatan di Bali dan Lombok untuk menggempur pasukan Ngurah Rai. Karena kekuatannya tidak seimbang, maka I Gusti Ngurah Rai dikalahkan dalam sebuah pertempuran puputan di Margarana sebelah utara Tabanan. Dalam kejadian itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai gugur bersama anggota pasukannya. Hal itu semakin melicinkan rencana Belanda membentuk "Negara Indonesia Timur".
7) Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang
Pada tanggal 12 Oktober 1945, pasukan Sekutu bersama tentara NICA mendarat di Palembang di bawah pimpinan Letnan Kolonel Carmichael. Kehadiran mereka disambut baik oleh pemerintah setempat dan ditempatkan di Daerah Talang Semut. Namun, secara rahasia Sekutu memperluas wilayahnya dan terus menambah jumlah pasukannya. Kemudian pada bulan Oktober 1946, Sekutu menyerahkan daerah-daerah yang didudukinya kepada NICA.
Pada tanggal 1 Januari 1947, pertempuran besar meletus. Para pejuang mengadakan perlawanan yang gigih. Sebuah kapal pemburu dan sejumlah bahtera motor berhasil ditenggelamkan di Sungai Musi, Stasiun Radio di Talang Betutu dan sejumlah tank juga berhasil dihancurkan. Pertempuran berakhir pada tanggal 6 Januari 1947, sehabis para pemimpin kedua belah pihak mengadakan perundingan.
8) Peristiwa Merah Putiti di Menado
Pada bulan September 1945, tentara Sekutu yang berasal dari Australia mendarat di Sulawesi Utara. Mereka diboncengi oleh tentara NICA. Mereka membebaskan dan mempersenjatai pasukan KNIL (Pasukan Kerajaaniliindia Belanda) yang sebelumnya ditawan Jepang. Pasukan itu dikenal sebagai Tangsi Putih.
Tentara Sekutu kemudian menyerahkan kekuasaan kepada tentara NICA pada bulan Desember 1945. Tentara NICA kemudian melaksanakan penangkapan terhadap tokoh-tokoh Ri. Tindakan ini menerima reaksi dari rakyat dan mantan anggota KNIL orang Indonesia (berasal dari Tangsi Hitam).
Pada tanggal 14 Februari 1945, laskar rakyat dan mantan anggota KNIL tersebut berhasil merebut kekuasaan pemerintahan di Menado, Tomohon, dan Minahasa. Para pejabat dan orang Belanda lainnya ditawan. Mereka menyampaikan bahwa kekuasaan di Menado sudah berada di tangan bangsa Indonesia melalui selebaran tanggal 16 Februari 1945.
Bendera Merah Putih berkibar diseluruh Menado selama satu bulan. Dr. Sam Ratulangie diangkat sebagai Gubernur Sulawesi. Ia bersama 540 pemuka masyarakat Menado kemudian membuat petisi kepada pemerintah sentra yang menyatakan bahwa seluruh Sulawesi adalah belahan dari Republik Indonesia.
9) Agresi Militer Belanda I
Belanda memakai segala cara untuk melemahkan Republik Indonesia, antara lain dengan mengadakan serangan di daerah-daerah dengan alasan aksi polisional. Selain dari itu, Belanda terus membentuk negara-negara boneka untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Aksi polisional yang dilancarkan oleh tentara Belanda dianggap oleh pihak Indonesia sebagai aksi militer terhadap kedaulatan wilayah Republik Indonesia. Keadaan ekonomi dan keuangan negeri Belanda yang semakin jelek menimbulkan pihak pemerintah Belanda berkeinginan untuk segera menuntaskan problem Indonesia. Oleh sebab itu, pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirim nota ultimatum kepada pemerintah Indonesia yang harus dijawaban selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari. Isi nota ultimatum itu meliputi sebagai diberikut:
- Republik Indonesia-Belanda membentuk pemerintahan ad interim bersama.
- Republik Indonesia-Belanda mengeluarkan mata uang bersama dan membentuk forum devisa bersama.
- Pemerintah Indonesia harus mengirim beras kepada rakyat yang wilayahnya diduduki Belanda.
- Menyelenggarakan gendarmerie bersama atau keamanan bersama termasuk daerah-daerah Republik Indonesia yang membutuhkan menolongan Belanda.
- Republik Indonesia dan Belanda menyelenggarakan pengawasan bersama atas ekspor dan impor.
Ultimatum ini dijawaban oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir yang menyampaikan bersedia mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban Sutan Syahrir yang mengakui kedaulatan Belanda menimbulkan pro dan kontra yang menjadikan Kabinet Sutan Syahrir jatuh.
Pada tanggal 17 Juli 1947, pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Amir Syarifuddin menolak ultimatum Belanda tersebut. Sebagai reaksi atas jawabanan pemerintah Republik Indonesia, maka Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 melancarkan serangan besar-bemasukan terhadap daerah-daerah Republik Indonesia. Akibat dari serangan Belanda itu, Tentara Nasional Indonesia terpaksa menghadapinya dengan perang gerilya. Serangan militer Belanda yang dilancarkan pada tanggal 21 Juli 1947 itu kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I.
10) Agresi Militer Belanda II
Belanda yang masih tetap ingin menguasai Indonesia dengan banyak sekali cara. Perundingan yang sudah dilaksanakan spesialuntuk adalah siasat untuk mengulur waktu sambil mempersiapkan kekuatan. Pemerintah mengira sewaktu-waktu Belanda akan melancarkan aksi militernya yang kedua. Untuk menghadapi serangan militer Belanda itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) membentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution dan Markas Besar Komando Sumatra (MBKS) di bawah pimpinan Kolonel Hidayat.
Seperti yang sudah diduga, Belanda benar-benar melaksanakan aksi militernya yang kedua. Serangan dimulai pada tanggal 19 Desember 1948 dengan siasat perang kilat. Tentara Belanda melancarkan serangan di seluruh front kawasan Republik Indonesia.
Pemboman dimulai pada Pukul 06.30 dengan samasukan utama Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) dan Markas Besar Angkatan Laut (MBAU). Sementara itu, pasukan payung Belanda dalam waktu singkat sudah menduduki pos-pos penting di sekitar Lapangan Maguwo (sekarang Lanud Adisucipto). Mereka bergerak cepat menduduki Ibu kota Yogyakarta yang spesialuntuk berjarak sekitar 7 km.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengadakan perlawanan secara gerilya dalam menghadapi gerak cepat pasukan Belanda tersebut. Presiden Soekarno dan Wapres Moh. Hatta yang menolak meninggalkan Yogya berhasil ditawan oleh Belanda. Presiden Soekarno diasingkan ke Prapat, sedangkan Wapres Moh. Hatta ke Pulau Bangka.
Pemimpin tentara Belanda Jenderal Spoor mengira jikalau ibu kota negara sudah diduduki dan para pemimpinnya berhasil ditawan, maka berakhir pula Negara Republik Indonesia dan dimulainya pemerintahan Belanda. Namun, di luar perhitungannya, kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia tetap terpelihara. Sebelum tentara Belanda menduduki Istana Presiden, pemerintah mengirim radiogram kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawirguagara yang berada di Sumatra Barat biar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Begitu pula dengan dugaan Belanda yang mengira Tentara Nasional Indonesia sudah mengalami kehancuran total, ternyata meleset. Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, sebelumnya sudah mengatur siasat dan kekuatan untuk menghadapi serangan Belanda tersebut.
Ketika Belanda mengadakan aksi militernya yang kedua itu, Jenderal Soedirman sedang sakit dan dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Ia segera mengeluarkan perintah biar Tentara Nasional Indonesia serta para pejuang lainnya meninggalkan kota dan menyusun kekuatan di luar kota. Kapten Soepardjo diutus untuk memberikan kepada Presiden, sedangkan Kapten Soewondo ditugaskan untuk memberikan perintah kilat kepada Angkatan Perang Republik Indonesia melalui siaran RRI Yogyakarta.
melaluiataubersamaini adanya perintah kilat itu, Tentara Nasional Indonesia serta rakyat meninggalkan kota dan memulai perang gerilya. Pasukan-pasukan Tentara Nasional Indonesia yang ditarik ke daerah-daerah RI, sehubungan dengan Perjanjian Renville, harus kembali ke kawasan masing-masing. Perjalanan kembali Pasukan Divisi Siliwangi dikenal sebagai Long March Siliwangi. Perjalanan jauh yang harus ditempuh dengan berjalan kaki sungguh adalah pengorbanan yang tidak kecil.
Hanya dalam waktu sebulan Tentara Nasional Indonesia sudah berhasil mengkonsolidasikan kekuatannya dan mulai mengadakan serangan-serangan secara teratur terhadap musuh. Tidak ada lagi pengukuhan terhadap garis demarkasi, tetapi justru front pertempuran tersebar di banyak sekali tempat di seluruh Pulau Jawa dan Sumatra. Kedua kawasan itu menjadi kawasan gerilya yang menyeluruh dan terus-menerus mengadakan tekanan terhadap pasukan Belanda. Penghadangan terhadap konvoi-konvoi Belanda, siasat bumi hangus, maupun sabotase-sabotase lainnya makin efektif dan berhasil.
Puncak dari serangan terhadap kedudukan dan kekuatan musuh terjadi dalam serangan 1 Maret 1949 terhadap Ibu kota Yogyakarta. Serangan pada 1 Maret 1949 itu dilakukan pada siang hari yang sama sekali diluar dugaan pihak Belanda. Serangan itu berhasil dengan gemilang. Tentara Nasional Indonesia menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam, kemudian mengundurkan diri.
Daftar Pustaka: Yudhistira
Post a Comment for "Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia"