Bentuk Usaha Diplomasi Dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Sikap perlawanan rakyat Indonesia di banyak sekali kawasan menyadarkan pihak sekutu bahwa mereka tidak sanggup mengabaikan usaha rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kesadaran itu mendorong Sekutu untuk mempertemukan pihak Republik Indonesia dan Belanda di meja perundingan. Para pemimpin bangsa Indonesia pun menawarkan niat baiknya untuk menuntaskan perselisihan Indonesia Belanda dengan cara-cara damai.
1. Perundingan-Perundingan Awal
Rencana untuk mempertemukan pihak Indonesia dengan pihak Belanda di meja perundingan, diprakarsai oleh Panglima AFNEI, yaitu Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Pemerintah Inggris segera mengirim Sir Archibald Clark Kerr ke Indonesia dan selanjutnya bertindak sebagai penengah dalam perundingan-perundingan Indonesia-Belanda.
Perundingan antara Indonesia dengan Belanda dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Dalam negosiasi ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan delegasi Belanda dipimpin oleh van Mook. Pertemuan yang diadakan di Jakarta itu ternyata tidak membuahkan hasil alasannya yakni masing-masing pihak tetap pada pendiriannya.
Pada awal negosiasi van Mook memberikan pernyataan pemerintah Belanda yang isinya mengulangi pidato Ratu Wilhelmina pada tanggal 7 Desember 1942, yaitu:
- Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran yang mempunyai pemerintahan sendiri dalam lingkungan Kerajaan Belanda.
- Masalah dalam negeri diurus Indonesia dan luar negeri diurus oleh pemerintah Belanda.
Pihak Indonesia secara tegas menolak pernyataan van Mook dan berpegang pada pendirian bahwa Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas jajahan Belanda. Pada tanggal 12 Maret 1946, pemerintah Republik Indonesia menyerahkan pernyataan penolakannya. Sekalipun negosiasi di Jakarta mengalami kegagalan, tetapi pertemuan itu sudah menyejajarkan Republik Indonesia, Belanda, dan Inggris di meja negosiasi yang kemudian menjadi dasar perundingan-perundingan selanjutnya.
Perundingan selanjutnya diadakan di Hoge Veluwe (Belanda) yang berlangsung pada tanggal 14-24 April 1946. Perundingan ini pun mengalami kegagalan. Pihak Republik Indonesia dalam negosiasi ini menuntut adanya legalisasi secara de facto atas Pulau Jawa, Madura, dan Sumatra.
Sebaliknya, pihak Belanda spesialuntuk mau mengakui wilayah de facto Republik Indonesia atas Pulau Jawa dan Madura saja. Pihak Belanda juga tetap menginginkan Republik Indonesia menjadi bab dari Kerajaan Belanda dalam bentuk Uni Indonesia-Belanda. Sementara perundingan-perundingan sedang berjalan, van Mook terus mengambil langkah-langkah untuk menyusun suatu struktur negara federal yang dikendalikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda.
Oleh alasannya yakni itu, diadakan serangkaian negosiasi antara para penjabat pemerintah Indonesia yang wilayahnya diduduki oleh Belanda. Di antaranya diselenggarakan Konferensi Malino pada tanggal 15 Juli 1946, Konferensi Pangkal Pinang pada tanggal 1 Oktober 1946, dan Konferensi Denpasar.
Pihak Inggris yang ingin segera meninggalkan Indonesia terus berusaha mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda di meja perundingan. Lord Killearn, seorang diplomat untuk Asia Tenggara berhasil membujuk kedua belah pihak untuk kembali berunding.
Perundingan kemudian diadakan di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946. Dalam negosiasi ini, delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn. Perundingan ini berhasil mengambil 3 keputusan penting, yaitu sebagai diberikut:
- Segera diadakan gencatan senjata antara Republik Indonesia dengan Belanda;
- Membentuk Komisi Bersama Gencatan Senjata untuk menangani duduk kasus pelaksanaan gencatan. senjata; dan
- Republik Indonesia dan Belanda harus segera mengadakan negosiasi politik.
Sesudah negosiasi itu, pasukan Sekutu secara berangsur-angsur mulai mengosongkan daerah-daerah yang didudukinya dan selanjutnya diganti oleh tentara Belanda.
2) Perundingan Linggajati
Pada tanggal 10 November 1946, pihak Indonesia dan Belanda kembali mengadakan negosiasi di Linggajati. Perundingan itu dipimpin oleh Lord Killern. Dalam negosiasi Linggajati itu, delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan anggotanya antara lain Presiden Soekarno, Wapres Drs. Moh. Hatta, Dr. Leimena, Dr. A. K. Gani, Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Syarifuddin, dan Mr. Ali Boediardjo.
Dari pihak Belanda dipimpin oleh van Mook dengan anggotanya antara lain Mr. van Pool dan E. de Boer. Seperti sebelumnya, negosiasi ini pun berjalan sangat alot alasannya yakni baik pihak Republik Indonesia maupun Belanda berpegang teguh pada prinsipnya masing-masing. Pada tanggal 15 November 1946, negosiasi mencapai persetujuan yang terdiri dari 17 pasal, di antaranya yang terpenting yakni sebagai diberikut:
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia atas wilayah Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda segera menarikdanunik mundur tentaranya dari daerah-daerah itu paling lambat 1 Januari 1949.
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama untuk membentuk negara federasi dengan nama Republik. Indonesia Serikat yang salah satu negara bagiannya yakni Republik Indonesia.
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
3) Komisi Tiga Negara
Agresi militer yang dilancarkan Belanda menimbulkan reaksi jago dari banyak sekali negara. Pada tanggal 30 Juli 1947 pemerintah India dan Australia mengajukan seruan secara resmi kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) biar duduk kasus Indonesia segera dimasukan dalam daftar program DK PBB.
Permintaan itu diterima pada tanggal 1 Agustus 1947. Dewan Keamanan PBB memerintahkan gencatan senjata pada kedua belah pihak yang sudah harus berlaku pada tanggal 4 Agustus 1947. Pada tanggal 14 Agustus 1947, DK PBB mengadakan sidang untuk mengulas duduk kasus Republik Indonesia Belanda.
Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah komisi konsuler yang beranggotakan beberapa konsul jenderal di Indonesia untuk mengawasi jalannya gencatan senjata. Komisi konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat, yaitu Dr. Walter Foote, sedangkan anggotanya terdiri dari Konsul Jenderal Cina, Belgia, Prancis, Inggris, dan Australia.
Walaupun gencatan senjata itu diawasi oleh komisi konsuler, pihak Belanda ternyata tidak menaati perintah tersebut. Belanda tetap saja mengadakan serangan-serangan dan berusaha menduduki wilayah-wilayah Republik Indonesia. Batas terakhir dari wilayah-wilayah yang dikuasainya diputuskan Belanda sebagai garis demarkasi yang kemudian dikenal dengan "Garis van Mook".
Akibat pelanggaran itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian memang-gil kembali wakil-wakil dari kedua belah pihak yang bertikai untuk mengadakan perundingan. Dalam negosiasi itu, Indonesia dengan tegas menolak garis demarkasi yang dipaksakan oleh pihak Belanda.
Dalam perdebatan itu, Amerika Serikat mengusulkan biar sebaiknya dibuat sebuah komisi jasa-jasa baik untuk memmenolong menuntaskan pertikaian. Usul Amerika Serikat itu diterima baik oleh DK PBB yang kemudian mempersembahkan peluang kepada kedua belah pihak untuk menentukan sendiri satu negara sebagai wakilnya. Indonesia kemudian menentukan Australia, Belanda menentukan Belgia, dan kedua negara itu memutuskan Amerika sebagai penengah.
Maka, terbentuklah Komisi Jasa-Jasa Baik yang kemudian populer dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN). Dalam KTN ini, Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia diwakili Paul van Zeeland, dan Amerika diwakili oleh Dr. Frank Graham. Pada tanggal 27 Oktober 1947, wakil-wakil KTN sudah datang di Jakarta untuk melaksanakan tugasnya.
4) Perundingan Renville
Komisi Tiga Negara berhasil mendekatkan pihak Republik Indonesia-Belanda untuk kembali mengadakan negosiasi yang kemudian dilaksanakan di atas kapal pengangkut pasukan Amerika USS Renville yang dikala itu sedang berlabuh di Teluk Jakarta.
Sebelum negosiasi dilangsungkan, pemerintah Republik Indonesia membentuk sebuah panitia istimewa yang dipimpin oleh Dr. J. Leimena. Panitia tersebut beranggotakan Mr. Abdul Madjid, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, Mayor Jenderal Didi Kartasasmita, Kolonel Simbolon, dan Letnan Kolonel Bustomi. Pihak Belanda juga membentuk panitia yang sama dipimpin oleh van Vredenburgh dengan anggotanya Kolonel Drost, Mr. Zulkamaen, Letnan Kolonel Surio Santoso, Dr. Stuyt, dan Dr. P. J. Koets.
Melalui sebuah komisi penghubung KTN, diadakan pertemuan-pertemuan pendekatan, tetapi mengalami kegagalan. Dalam pertemuan-pertemuan itu, pihak Republik Indonesia secara tegas menuntut pihak Belanda mengembalikan daerah-daerah yang didudukinya semenjak tanggal 1 Agustus 1947 dan Jakarta harus kembali dalam statusnya sebelum Agresi Militer Belanda I.
Sebaliknya, pihak Belanda tetap bertahan dengan garis van Mook-nya. Belanda menyatakan bahwa daerah-daerah yang diduduki sebelum adanya perintah gencatan senjata dari DK PBB tetap menjadi milik Belanda. Komisi Tiga Negara (KTN) yang dipercayakan untuk memmenolong penyelesaian sengketa tidak putus harapan.
Untuk mengatasi perdebatan yang berlarut-larut, KTN mengusulican biar Perjanjian Linggajati dijadikan sebagai dasar untuk memulai perundingan. Usul KTN ini ternyata diterima baik oleh pihak Republik Indonesia maupun oleh pihak Belanda.
Pada tanggal 8 Desember 1947, per-undingan dimulai di atas Kapal USS Renville. Oleh alasannya yakni itu, negosiasi ini kemudian disebut dengan Perundingan Renville. Dalam negosiasi itu, delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Ali Sastroamidjojo sebagai wakilnya, sedangkan anggotanya yakni dr. Tjoa Siek Ien, Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Mr. Nasrun, dan dua orang anggota cadangan, yaitu Ir. H. Djuanda dan Setiadji, serta 32 orang penasihat.
Delegasi Belanda dipimpin oleh Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo dan Mr. van P. J Koets, Mr. Ch.R. Soumokil, Tengku Zulkarnaen, Mr. Adjie Kartguagara, Mr. Masjarie, Thi Thian Tjiong, Mr. A.H. Ophuysen, dan A.Th. Band sebagai sekretarisnya.
Perundingan Renville ini ternyata berlangsung sangat alot dan tersendat alasannya yakni menyerupai dalam perundingan-perundingan sebelumnya, pihak Belanda ingin memaksakan kehendaknya dan tidak mempunyai niat untuk mengakhiri pertikaian. Komisi Tiga Negara hasilnya memberikan usul-usul sebagai diberikut:
a) Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak sepanjang garis van Mook.
b) Penghentian tembak-menembak biar diikuti dengan peletalcican senjata dan pembentukan daerah-daerah kosong militer.
Selain itu, KTN juga mengajukan usul politik untuk dipilih oleh pihak Republik Indonesia dan Belanda yang isinya yakni sebagai diberikut:
- Kemerdekaan bagi Indonesia.
- Kerja sama antara Indonesia-Belanda.
- Dibentuknya suatu negara federasi.
Sebagai tanggapan terhadap usul KTN, Belanda memberikan 12 prinsip politik kepada Indonesia, antara lain pengurangan jumlah pasukan dan penghidupan kegiatan ekonomi. Belanda menyatakan bahwa 12 prinsip itu ialah usaha terakhir yang apabila ditolak maka Belanda tidak akan lagi melanjutkan perundingan. Belanda mempersembahkan waktu 48 jam kepada pemerintah RI untuk menjawabannya. Usul Belanda yang disertai ultimatum itu dianggap oleh pihak RI sebagai perilaku ingin menang sendiri.
Komisi Tiga Negara menanggapi usul Belanda itu sebagai sesuatu yang berbahaya sehingga Dr. Frank Graham mengajukan lagi 6 prinsip komplemen untuk mencapai penyelesaian politik. Pemerintah RI menerima jaminan dari KTN bahwa kawasan kekuasaannya tidak akan berkurang selama masa peralihan hingga diserahkannya kedaulatan oleh pihak Belanda kepada negara federal Indonesia.
Pemerintah mau mendapatkan prinsip-prinsip KTN itu alasannya yakni dalam prinsip ke-4 dan ke-6 ditetapkan bahwa antara 6 bulan hingga 1 tahun sehabis ditanhadiraninya persetujuan politik akan diadakan plebisit di seluruh Indonesia di bawah pengawasan KTN untuk menentukan hasrat rakyat bergabung atau tidaknya dengan RI. Pihak Belanda sebelumnya juga sudah mendapatkan prinsip-prinsip yang diajukan oleh KTN itu dengan catatan bahwa pihak Republik Indonesia harus menyatakan persetujuan-nya, paling lambat tanggal 9 Januari 1948.
melaluiataubersamaini persetujuannya atas prinsip-prinsip dari KTN oleh pihak Republik Indonesia maupun Belanda, maka pada tanggal 17 Januari 1948 delegasi kedua negara yang bertikai kembali mengadakan pertemuan di atas Kapal USS Renville untuk menanhadirani persetujuan gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang disaksikan oleh KTN. Secara singkat isi Perjanjian Renville sebagai diberikut:
a. 10 pasal persetujuan gencatan senjata.
b. 6 pokok prinsip komplemen untuk negosiasi guna mencapai penyelesaian politik, antara lain sebagai diberikut:
- Belanda berdaulat atas Indonesia hingga legalisasi kedaulatannya kepada Negara Indonesia Serikatyang merdeka;
- Republik Indonesia menjadi bab dari Republik Indonesia Serikat;
- Sebelum pemerintah negara federal terbentuk, maka Republik
Indonesia harus mempunyai wakil-walcil yang layak dalam tiap-tiap Pemerintahan Federal Sementara; (d) Akan mengadakan plebisit (Pepera) di Pulau Jawa, Madura, dan Sumatra untuk menentukan apakah rakyat daerah-daerah tersebut bergabung dengan RI atau RIS.
c. 12 prinsip politik termasuk tiga pokok hasil Persetujuan Linggajati.
5) Resolusi Dewan Keamanan PBB
Tindakan Belanda melaksanakan aksi militer kedua menimbulkan reaksi dari PBB. Dewan Keamanan PBB pada tanggal 28 Januari 1949 mengeluarkan sebuah resolusi yang meliputi sebagai diberikut:
- Penghentian tiruana operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian tiruana acara gerilya oleh Republik Indonesia. Kedua pihak harus bekerja sama untuk mengadakan negosiasi kembali
- Pembebasan dengan segera dan dengan tidak bersyarat tiruana tahanan politik di dalam kawasan Republik Indonesia oleh Belanda semenjak tanggal 19 Desember 1948.
- Belanda harus mempersembahkan peluang kepada pembesar-pembesar pemerintah Republik untuk kembali ke Yogyakarta.
- Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya dengan dasar Perjanjian Linggajati, Perjanjian Renville, terutama menurut pembentukan suatu Pemerintah Interim Federal paling lambat pada tanggal 15 Maret 1949; pemilihan untuk Dewan Pembuat UUD Negara Republik Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 1949.
- Mulai kini Komisi Jasa-Jasa Baik (Komisi Tiga Negara) diganti namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia atau United Nation Commission for Indonesia (UNCI). UNCI bertugas memmenolong melancarkan perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia, mengamati pemilihan, dan berhak memajukan usul-usul terkena banyak sekali hal yang sanggup memmenolong tercapainya penyelesaian.
6) Perundingan Roem-Royen
UNCI yang mengemban kiprah menuntaskan konflik Indonesia—Belanda memainkan perannya, dengan mengundang kedua belah pihak yang bertikai untuk kembali mengadakan perundingan. Delegasi Indonesia dalam negosiasi itu dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan dari pihak Belanda dipimpin oleh Dr. Van Royen.
Perundingan dimulai pada tanggal 17 Apri11949 di Hotel Des Indes (Hotel Duta Merlin sekarang) yang dipimpin oleh Merle Cochran, wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Sesudah melalui negosiasi yang berlarut-larut, maka pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan yang kemudian dikenal sebagai Persetujuan Roem-Royen atau Roem Royen Statements. Isinya berupa pernyataan-pernyataan dari kedua pihak sebagai diberikut.
Hasil-hasil Persetujuan Roem-Royen menerima santunan dari partai-partai politik, sedangkan pihak PDRI dan Tentara Nasional Indonesia tetap mewaspadai kepercayaan Belanda. Pada tanggal 1 Mei 1949, Jenderal Soedirman memperingatkan biar Tentara Nasional Indonesia tidak turut memikirkan politik dan negosiasi alasannya yakni akan merugikan pertahanan dan keamanan. Sebagai realisasi dari Persetujuan Roem-Royen yakni sebagai diberikut.
a) Belanda meninggalkan Ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta.
b) Tentara Nasional Indonesia menduduki Ibu kota Yogyakarta.
c) Presiden dan wakil presiden serta para pemimpin lainnya kembali dari tempat pengasingan ke ibu kota negara.
d) Panglima Besar Jenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta dari medan gerilya.
e) PDRI mengembalikan mandatnya kepada pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta.
a) Belanda meninggalkan Ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta.
b) Tentara Nasional Indonesia menduduki Ibu kota Yogyakarta.
c) Presiden dan wakil presiden serta para pemimpin lainnya kembali dari tempat pengasingan ke ibu kota negara.
d) Panglima Besar Jenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta dari medan gerilya.
e) PDRI mengembalikan mandatnya kepada pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta.
7) Konferensi Inter-Indonesia
Sebagai tindak lanjut dari hasil-hasil Perjanjian Roem-Royen, pemerintah Republik Indonesia segera mengadakan persiapan-persiapan untuk menghadapi Konferensi Meja Bundar (KMB). Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengadakan pendekatan dengan pihak BFO atau Badan Musyawarah Negara-negara Federal untuk membuat satu front dalam menghadapi Belanda pada KMB.
Republik Indonesia dan pihak BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) hasilnya mengadakan pertemuan pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta. Pertemuan dilanjutkan kembali tanggal 31 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta. Pembicaraan dalam konferensi itu hampir seluruhnya terkena duduk kasus pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), terutama terkena tata susunan dan hak pemerintah RIS di satu pihak dan hak negara- negara bab di pihak lain.
Dalam konferensi itu dibicarakan pula bentuk kolaborasi RIS dengan pemerintah Belanda dalam perserikatan uni, serta duduk kasus kewajiban RIS dan Belanda sehubungan dengan penyerahan kekuasaan. Keputusan penting lainnya yakni bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan, tanpa ikatan-ikatan politik atau ekonomi. Di bidang militer, konferensi memutuskan antara lain sebagai diberikut:
- Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yakni Angkatan Perang Nasional.
- TNI menjadi inti APRIS dan akan mendapatkan orang-orang Indonesia yang ada di dalam KNIL, VB (Veiligherd Bataljons), dan kesatuan-kesatuan tentara Belanda lainnya dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.
- Masalah pertahanan keamanan yakni hak pemerintah RIS.
Negara-negara bab tidak berhak untuk mempunyai angkatan perang sendiri. Hal-hal lain yang jtiga diputuskan yakni sebagai diberikut:
- Tanggal 17 Agustus diputuskan sebagai Hari Nasional Negara RIS.
- Bendera Merah Putih diputuskan sebagai bendera RIS.
- Lagu Kebangsaan Indonesia Raya menjadi Lagu Kebangsaan RIS.
- Bahasa Indonesia diputuskan sebagai Bahasa Nasional RIS. e) Ir. Soekarno diputuskan sebagai Presiden RIS.
8) Konferensi Meja Bundar (KMB)
Pada tanggal 23 Agustus 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Bagi pemerintah Belanda, kesediaannya untuk menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar tidak lain ingin segera membentuk Negara Indonesia Serikat yang sudah usang dicita-citakannya.
Pada tanggal 14 Agustus 1949, pemerintah Republik Indonesia memutuskan delegasi yang akan menghadiri KMB, yaitu Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Soepomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. H. Djuanda, Drs. Soekiman, Mr. Soeyono Hadinoto, Dr. Soemitro Djoyohadikoesoemo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T. B. Simatupang, dan Mr. Soemardi. Delegasi-delegasi yang menghadiri KIVIB yakni sebagai diberikut:
a) Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Moh. Hatta.
b) Delegasi BFO dipimpin Sultan Hamid II.
c) Delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Maarseveen.
d) Delegasi UNCI diwakili oleh H. M. Cochran, Herremans, Th. K. Critchley, dan Romanos.
Dalam konferensi itu terjadi perdebatan seru antara delegasi dua negara yang bertikai terkena banyak sekali hal. Masalah paling pelik yang dibahas dan menjadi sorotan utama yakni duduk kasus utang-utang Belanda dan duduk kasus Irian Barat.
Belanda beropini bahwa tiruana utang-utangnya yakni tanggung jawaban pihak RIS dan terkena Irian Barat, Belanda gres akan menyerahkannya satu tahun sehabis KMB. Keinginan delegasi Belanda itu dengan tegas diperihal oleh delegasi Indonesia yang didukung oleh BFO yang makin yakin akan kelicikan Belanda.
Untuk mengakhiri perdebatan, pihak UNCI menengahi dan memasukkan usulan-usulan sehingga hasilnya KMB berhasil mengambil keputusan sebagai diberikut.
Untuk mengakhiri perdebatan, pihak UNCI menengahi dan memasukkan usulan-usulan sehingga hasilnya KMB berhasil mengambil keputusan sebagai diberikut.
a) Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia secara penuh dan tanpa syarat kepada RIS.
b) Pelaksanaan penyerahan kedaulatan akan dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 1949.
b) Masalah Irian Barat ditunda dan akan diadakan negosiasi kembali dalam waktu satu tahun sehabis penyerahan kedaulatan kepada RIS.
c) Akan dibuat satu Uni Indonesia- Belanda menurut kolaborasi sukarela dan sederajat.
d) Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.
e) Tentara Belanda akan ditarik dari Indonesia dan KNIL dibubarkan kemudian akan digabungkan dengan APRIS.
Daftar Pustaka: Yudhistira
Post a Comment for "Bentuk Usaha Diplomasi Dalam Mempertahankan Kemerdekaan"