Kronologi Sejarah Lahirnya Kalangan Terpelajar
Sudah semenjak awal, bangsa Indonesia tidak mendapatkan adanya penjajahan. Bangsa kita menjunjung tinggi kemerdekaan setiap manusia. Sikap itu ditunjukkan antara lain dengan reaksi perlawanan (perjuangan fisik) baik kepada Portugis, VOC, maupun pemerintah kolonial Belanda.
Tindakan yang sudah dilakukan itu patut kita hargai. Namun, perlu kita telaah lebih lanjut, mengapa usaha demi usaha yang sudah digalang itu selalu kandas? Satu demi satu perlawanan dari Sultan Hasanuddin di. Makassar hingga Panglima Polem di Aceh sanggup dipadamkan.
Kandasnya usaha rakyat melawan penjajah itu bukan dikarenakan oleh kurang Jengkapnya persenjataan ataupun pemberian rakyat, melainkan oleh belum adanya kesadaran nasional. Perjuangan untuk Indonesia belum terpikirkan pada waktu itu. Perjuangan pemimpin dan rakyat yang muncul barulah ditujukan untuk kepentingan daerahnya.
Lalu, tidak jarang kepentingan kawasan yang satu bertubrukan dengan kepentingan kawasan yang lain. Persaingan antardaerah ini dengan licik dimanfaatkan penjajah untuk menanamkan pengaruhnya. Tampaklah di sini, tanpa keadaran nasional tidak akan terwujud persatuan dan kesatuan. Akibatnya, usaha melawan penjajah pun menjadi lemah, simpel dipatahkan.
Pentingnya kesadaran nasional sebagai modal usaha lambat laun mulai terpikirkan pada awal era 20. Tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan kesadaran nasional ini ialah kalangan terpelajar. Kehadiran mereka m.enggugah suatu bentuk usaha baru, yang bukan lagi mengandalkan fisik melainkan mengandalkan kecerdasan dan organisasi.
Kehadiran kalangan pelajar itu sudah tentu ditentukan oleh kondisi yang berlangsung di Indonesia ketika memasuki era 20. Oleh lantaran itu, sebelum kita mengulas usaha gres dari kalangan terpelajar, marilah kita tinjau lebih lampau seluk-beluk munculnya kalangan terpelajar di Indonesia.
Lahirnya Kalangan Terpelajar
Tampilnya kalangan terpelajar Indonesia dilatari pelaksanaan aktivitas pendidikan oleh pemerintah kolonial dan pendidikan swasta oleh perguruan tinggi kebangsaan. Kelahiran kalangan terpelajar di Indonesia ditentukan oleh dua faktor, dari luar dan dari dalam.
Faktor dari luar menunjuk pada kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap penduduk Indonesia, yang ternyata besar lengan berkuasa besar bagi tampilnya kalangan. terpelajar. Sedangkan faktor dari dalam menunjuk pada kegiatan rakyat Indonesia sendiri dalam rangka membentuk putera-puteri bangsa yang terdidik.
1. Awal Pendidikan Modern di Indonesia
Kalian masih ingat, seiring dengan berlakunya Undang-undang Agraria Tahun 1870, Indonesia memasuki alam ekonomi dan politik libera1. Berbeda dengan gaya politik kolonial sebelumnya (politik eksploitasi), politik liberal menaruh perhatian pada kemakmuran rakyat di tanah jajahan. Para penganut politik ini, menyerupai Van Deventer, menganjurkan kepada pemerintah Negeri Belanda untuk mulai meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia. Alasan mereka, Negeri Belanda sudah bergelimang kemakmuran berkat jerih payah rakyat Indonesia melalui Tanam Paksa.. Maka, sudah saatnya Negeri Belanda membalas kecerdikan atas kerja keras rakyat Indonesia tersebut. Itulah sebabnya, kebijakan gres pemerintah ko1onial nantinya dinamakan Politik Balas Budi atau Politik Etis.
Salah satu terapan kebijakan gres pemerintah kolonial itu ialah penyelenggaraan pendidikan. Perlunya pendidikan ini juga dituntut oleh kebutuhan tenaga manajemen terdidik, baik di perkebunan maupun kantor pemerintah. Mulanya pendidikan ini tidak berlaku sama rata untuk tiruana orang. Ada pembedaan baik antara anak bumiputera dan Eropa maupun antara anak bumiputera sendiri. Untuk anak bumiputera kalangan bawah didirikan sekolah kelas dua, sedangkan untuk anak bumiputera kalangan menengah didirikan sekolah kelas satu. Untuk anak Eropa didirikan sekolah khusus, yakni ELS (Europese Lagere School).
Sejak awal era 20, sistem pendidikan untuk anak bumiputera dikembangkan. Untuk kalangan bawah, pemerintah kolonial menyelenggarakan sekolah rakyat (volkschool) dengan usang pendidikan tiga tahun. Pelajarannya ditekankan sekadar pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Namun anakdidik terpandai akan mempunyai kesematan berguru di sekolah lanjutan atau vervolgschool untuk masa dua tahun. Ketika itu Kesadaran Nasional Mentiju Indonesia Menleka sistem pendidikan menyerupai ini ialah forum pendidikan yang penting bagi rakyat bumiputera biasa.
Perkembangan berlaku juga pada sekolah untuk kalangan menengah. Bagi mereka itu, pemerintah kolonial mendirikan HIS (Hollands Inlandsche School = Sekolah Dasar), di mana bahasa Belanda dijadikan sebagai bahasa pengantar. Lama pendidikan di situ ialah tujuh tahun.
Mereka yang pandai dan bisa da pat melanjutkan pendidikannya sekolah umum, menyerupai ke MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs = SLTP), kemudian ke AMS (Algemeene Middelbare School = SMU). Di samping itu, masih ada HBS (Hogere Burgerschoot = SLTP + SMU) untuk ka-langan atas, dengan usang pendidikan lima tahun. Selain ke sekolah umum, mereka sanggup melanjutkan ke sekolah kejuruan, menyerupai sekolah guru (Kweekschool) dan sekolah pangreh praja.
Untuk pendidikan lebih lanjut, terbuka pula peluang (meskipun spesialuntuk untuk kalangan tertentu) bagi anakdidik yang pandai dan bisa (secara ekonomis) untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi tinggi. Mulanya mereka ini harus berangkat ke Eropa.
Barulah setelah tahun 1920, peluang untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi tinggi semakin besar dengan didirikannya beberapa perguruan tinggi tinggi di dalam negeri, contohnya da1am bidang aturan (Rechts Hoge School), pertanian, kedokteran. (School tot Opleideing van Inlandsche Aartsen = STOVIA) , dan metode (Technische Hoge School).
Sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial itu melahirkan kalangan terpelajar, walaupun masih terbatas pada golongan masyarakat tertentu. Pada umumnya di antara mereka terdapat dua sikap, yaitu ikut arus yang ada atau tanggap terhadap situasi bangsa sendiri.
Kalangan yang ikut arus umumnya cenderung menjadi pegawai kantor atau manajemen perkebunan setelah lulus. Sedangkan kalangan terpelajar yang tanggap merasa terpanggil untuk memperbaiki nasib bangsanya. Kalangan terakhir inilah yang mau berjerih payah merintis perguruan tinggi kebangsaan maupun pergerakan nasional.
2. Peranan Perguruan Kebangsaan
Program pendidikan dari pemerintah kolonial menerima jawaban antusias dari rakyat Indonesia. Akan tetapi, akung sekali tidak tiruana anak yang berminat sanggup ditampung. Kondisi ini selain disebabkan oleh masih terbatasnya jumlah dan daya tampung sekolah, juga dilatari oleh pembatasan kalangan tertentu yang boleh berpendidikan oleh pemerintah.
Kebijakan pemerintah ini membuat forum pendidikan disalahartikan. Sekolah tidak lagi dipahami sebagai ajang belajar-mengajar, melainkan sebagai masukana menaikkan status sosial. melaluiataubersamaini bersekolah orang bukan berharap makin menyadari kiprah pengabdiannya bagi bangsa, tetapi malahan ingin semoga meningkatkan kedudukannya di tengah masyarakat.
Di tengah .kerancuan tujuan menempuh pendidikan itu, tampilah para pendidik bumiputera yang bertekad mendayagunakan pendidikan sebagai ajang penggemblengan para putera bangsa. Tekad itu mereka nyatakan dengan mendirikan perguruan tinggi kebangsaan. Sesuai dengan namanya, perguruan tinggi ini berupaya merangkul tiruana perjaka bumiputera, tanpa membedakan dari kalangan manapun.
Ada tiga tokoh yang pantas kita sebutkan di sini. Tokoh pertama ialah Ki Hajar Dewantara. Pada tahun 1920, ia mendirikan Perguruan Taman Siswa. Perguruan ini bertujuan mendidik angkatan muda bumiputera semoga menjiwai kebangsaan Indonesia.
Untuk itu, dalam kegiatan belajar-mengajar, ditanamkan semangat antipenjajahan sekaligus kecintaan akan tanah air. melaluiataubersamaini tertanamnya jiwa kebangsaan itu, para perjaka bumi-putera akan sanggup dipercaya nantinya sebagai pemimpin yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Tokoh diberikutnya ialah Mohammad Syafei. Pada tahun 1926, ia mendirikan INS (Indonesische Nederlandsche School)Kayu Tanam. Perguruan ini bertujuan mendidik para perjaka bumiputera men-jadi tenaga siap pakai untuk mengabdi kepentingan bangsa Indonesia. Untuk itu, perguruan tinggi ini menanamkan tradisi semangat kerja, aktif-kreatif, dan mandiri. Tradisi ini amat diharapkan sebagai modal usaha menuju kemerdekaan sekaligus mengisi kemerdekaan nantinya.
Tokoh ketiga ialah E.F.E Douwes Dekker. Pada tahun 1924, ia mempelopori berdirinya Ksatriaan School. Maksud didirikannya sekolah tersebut ialah menumbuhkan harga diri dan kepercayaan sebagai insan merdeka di kalangan anakdidik bumiputera. Untuk itu, landasan proses belajar-mengajar ialah training kesadaran sebagai insan Indonesia. Pendidikan yang ditanamkan di sekolah ini turut berperan dalam menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan para pelajar bumiputera.
Selain ketiga tokoh tersebut, sesungguhnya masih banyak kalangan terpelajar lain yang terpanggil untuk mendirikan masukana pendidikan bagi kaum muda bumi putera. Pada bulan Desember 1928, beberapa tokoh pergerakan nasional mendirikan Perguruan Rakyat.
Tujuan sekolah ini ialah menyelenggarakan kursus lanjutan terkena bahasa, ilmu bangsa-bangsa, ilmu sosial, tata negara, tata buku, dan stenografi. Yang menarikdanunik, dalam proses belajar-mengajar diupayakan sedapat mungkin menghilangkan hal-hal yang berbau kedaerahan. Secara positif, tiruana hal yang diajarkan dikaitkan dengan kebangsaan Indonesia.
Tampaklah, perguruan-perguruan tersebut ialah tempat penggemblengan para tunas bangsa. Dalam penggemblengan itu, ditumbuhkan kesadaran nasional, atau dengan kata lain, kesadaran akan persatuan dan kesatuan Indonesia. Terbukti nantinya, dari perguruan-perguruan inilah akan banyak tampil para perjaka pelajar yang aktif menggalang pergerakan nasional.
Daftar Pustaka: Erlangga
Post a Comment for "Kronologi Sejarah Lahirnya Kalangan Terpelajar"