Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Oleh Mahkamah Internasional

Kompetensi Mahkamah Internasional tercakup dalam kekuasaan pengadilan internasional dalam Pasal 2, 3, 4, dan 5 Statuta Mahkamah Internasional ditentukan sebagai diberikut:

1. Pasal 2

"Pengadilan Internasional berkuasa untuk menuntut orang-orang yang melaksanakan Pelanggaran Berat Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu perbuatan sebagai diberikut ini terhadap orang-orang atau harta benda yang dilindungi di bawah perundang-undangan Konvensi Jenewa yang relevan: 

  • pembunuhan dengan sengaja;
  • penganiyaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologi;
  • dengan sengaja menimbulkan penderitaan yang berat atau cedera yang mendalam terhadap tubuh atau kesehatan;
  • perusakan secara besar-bemasukan dan pendermaan harus benda yang tidak dibenarkan oleh keperluan militer dan dilaksanakan berperihalan dengan aturan dan tanpa alasan;
  • memaksa seorang tawanan perang atau seorang sipil untuk melayani pasukan sesuatu kekuatan yang bermusuhan;
  • dengan sengaja menghilangkan hak seorang tawanan perang atau seorang sipil untuk mendapatkan pengadilan yang diadili dan teratur;
  • deportasi atau transfer yang tidak sah atau penahanan yang tdak sah atas seorang sipil;
  • menahan orang sipil yang cedera."

2. Pasal 3
"Pengadilan Internasional mempunyai kekuasaan untuk menuntut orang-orang yang melanggar aturan atau kebiasaan perang. Pelanggaran demikian termasuk, tetapi tidak terbatas pada:
  • penerapan senjata racun atau lain-lain senjata yang diperhitungkan akan menimbulkan kesengsaraan yang tidak perlu,
  • penghancuaran tanpa alasan dari kota-kota, desa-desa, atau kampung-kampung dan penghancuran yang tidak dibenarkan oleh kepentingan,
  • penyerangan atau pemboman dengan cara apapun atas desa-desa, kampung-kampung, tempat-tempat tinggal, atau gedung-gedung yang tidak terlindungi,
  • penyitaan, penghancuran, atau merusak dengan sengaja terhadap institusi yang melayani agama, amal dan pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan, monumen bersejarah, serta karya seni dan ilmu pengetahuan, dan
  • perampokan atas harta milik atau perorangan." 

3. Pasal 4
Pasal ini mencakup 3 ayat. Ayat 1 "Pengadilan Internasional mempunyai kuasa untuk menuntut orang-orang yang melaksanakan genosida ibarat yang diterangkan dalam ayat 2 dari pasal ini atau melaksanakan perbuatan yang manapun yang diperinci dalam ayat 3 pasal ini." Ayat 2 "Genosida berarti perbuatan manapun diberikut ini dengan maksud untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian suatu kelompok nasional, etnik, rasial, atau agama seperti:
  • membunuh para anggota suatu kelompok,
  • mengakibatkan cedera tubuh atau jiwa yang fokus terhadap para anggota suatu kelompok,
  • dengan sengaja menimbulkan atas suatu kelompok suatu kondisi kehidupan yang sudah dihitung akan membawa kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian,
  • mengenakan tindakan yang bermaksud untuk mencegah kelahiran dalam suatu kelompok, dan
  • secara paksa mentransfer belum dewasa dari suatu kelompok ke lain kelompok."

Untuk Ayat 3 Perbuatan diberikut ini sanggup dihukum:
  • genosida;
  • persengkongkolan untuk melaksanakan genosida ;
  • penghasutan pribadi terhadap publik untuk melaksanakan genosida;
  • usaha untuk melaksanakan genosida; dan
  • keterlibatan dalam genosida.

4. Pasal 5
Pengadilan Internasional berkuasa untuk menuntut orang-orang yang bertanggung balasan atas kejahatan sebagai diberikut bilamana dilakukan dalam konflik bersenjata apakah hal itu bersifat internasional internal, dan ditujukan terhadap penduduk sipil: 

  • pembunuhan;
  • pembasmian;
  • perbudakan;
  • deportasi;
  • pemenjaraan;
  • penyiksaan;
  • perkosaan;
  • penuntutan terhadap kelompok atas dasar politik, ras dan agama;
  • lain-lain perbuatan yang tidak berperikemanusiaan." 

Teknik Penyelesaian Sengketa Internasional oleh Mahkamah Internasional

Teknik penyelesaian sengketa internasional secara umum mengikuti jenis perselisihan itu sendiri. Perselisihan-Perselisihan aturan (legal disputre) yakni perbedaan paham ihwal tuntutan yang disandarkan atas peraturari aturan internasional. 

Sedangkan, perselisihan politik yakni perbedaan paham dalam ideologi maupun pengambilan kebijakan negara, contohnya agresi, perang saudara (etnik atau suku bangsa), kudeta, dan pemberontakan daerah/suku bangsa. Penyelesaian sengketa atau konflik internasional dalam Hukum Internasional ada enam macam sebagai diberikut:

  • perundingan (negotiation) sebagai musyawarah dan mufakat semoga perbedaan paham sanggup dihilangkan. Internasional sanggup dibagi atas dua macam, yaitu perselisihan aturan dan perselisihan politik.
  • perundingan ialah penyelesaian secara tenang yang paling baik;
  • pengadilan (judicial settlement) sebagai penyelesaian dengan cara proses pengadilan oleh tubuh internasional;
  • arbitrase (arbitration);
  • jasa-jasa baik (good offices); 
  • perantaraan (mediation); 
  • rukun (conciliation)

Adapun peranan dan cara Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa internasional tercakup dalam wewenang mahkarnah. Wewenang mahkamah diatur dalam Bab II Statuta Mahkamah Internasional. Ada tiga wewenang mahkamah, yaitu ratione personae, ratione materiae, dan wewenang wajib. 

A. Wewenang Ratione Personae

Pasal 34 ayat (1) Statuta memilih bahwa spesialuntuk negara-negara yang boleh menjadi pihak dalam perkara-1 kasus di muka mahkamah. Berarti individu atau organisasi-organisasi internasional tidak sanggup menjadil pihak dari suatu sengketa di muka mahkamah tersebut. 

Pada prinsipnya, mahkamah spesialuntuk terbuka bagil negara-negara anggota dari Statuta. Di samping itu, pasal 93 ayat (2) menyatakan bahwa negara yang bukan anggota PBB sanggup menjadi pihak pada Statuta Mahkamah dengan syarat-syarat yang akan ditentukan untuk setiap seruan oleh: 

Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan. melaluiataubersamaini memakai ketentuan inilah, San Marino di tahun 1954, Liechtenstein tahun 1950, dan Jepang tahun 1954 (sebelum masuk PBB) menjadi pihak pada Statuta. Swiss yang tetap di luar PBB menjadi Statuta melalui mekanisme ketentuan pasal 93 ayat (2) tersebut pada tahun 1947. 

Dalam praktiknya, jarang sekali Dewan Keamanan diminta untuk memakai pasal 94 ayat (2) tersebut. Karena biasanya negara-negara mendapatkan keputusan mahkamah, kecuali pada beberapa keputusan, yaitu terkena insiden Selat Corfu tahun 1949, di mana Albania menolak membayar ganti rugi kepada Inggris. 

Juga Ordonansi Mahkamah tahun 1980 dalam masalah personel diplomatik Amerika Serikat di Teheran alasannya Iran menolak mengambil tindakan proteksi sementara dan keputusan tahun 1986 terkena tanggung balasan Amerika Serikat dalam kegiatan-kegiatan militernya kontra Nicaragua. Keputusan mahkamah yakni keputusan tertinggi di dunia dan penolakan suatu negara terhadap keputusan mahkamah akan merusak citranya dalam pergaulan antarbangsa. 

Oleh alasannya itu, pengecualian terhadap ketentuan tersebut didiberikan kepada negara-negara lain yang bukan pihak (anggota) pada Statuta untuk sanggup mengajukan suatu kasus ke mahkamah. Namun demikian, Dewan Keamanan memilih syarat-syarat sebagai diberikut. 

  • Kedudukan individu
Penolakan jalan masuk terhadap individu-individu ke mahkamah bukan berarti bahwa sengketa-sengketa yang diajukan ke mahkamah tidak akan pernah menyangkut individu-individu. Melalui mekanisme proteksi diplomatik di bidang pertanggungjawabanan internasional, negara-negara sanggup mengambil alih dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat negaranya di depan mahkamah.

Banyak kasus yang diperiksa mahkamah berasal dari pelaksanaan proteksi diplomatik negara terhadap masyarakat negara. Misalnya, kasus ambatiels, ICJ (International Court of Justice) 1952 - 1953 dan kasus interhandel, ICJ 1957-1958. Dalam masalah tribunal administratif PBB, penolakan terhadap keputusan tribunal sanggup diajukan ke mahkamah oleh seorang pegawai organisasi internasional tersebut dengan memberikan argumentasinya. 

  • Kedudukan organisasi internasional
Pasal 34 ayat (1) Statuta spesialuntuk membolehkan negara-negara untuk mengajukan suatu sengketa ke mahkamah. Namun demikian, ayat (2) dan (3) pasal tersebut mempersembahkan kemungkinan kerjasama antara organisasi-organisasi internasional dan mahkamah. Mahkamah juga memilih syarat-syarat kerjasama dengan organisasi-organisasi internasional. 

Mula-mula, mahkamah sanggup meminta keterangan terkena soal-soal yang diperiksanya kepada organisasi-organisasi internasional. Organisasi-organisasi internasional itu juga sanggup mengirim keterangan-keterangan kepada mahkamah atas inisiatif sendiri. 

Apabila dalam investigasi suatu perkara, mahkamah terpaksa menginterpretasikan piagam konstitusi suatu organisasi internasional atau suatu konvensi yang dibentuk atas dasar piagam tersebut, panitera mahkamah berhak meminta keterangan kepada organisasi internasional tersebut dan mengirimkannya secara tertulis kepada mahkamah. 

B. Wewenang Ratione Materiae

Pasal 36 ayat (1) Statuta dengan jelas membuktikan bahwa wewenang mahkamah mencakup tiruana kasus yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa kepadanya dalam tiruana hal. Terutama terdapat dalam Piagam PBB dan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang berlaku.

Meskipun pasal tersebut tidak membedakan antara sengketa aturan dan politik yang boleh dibawa ke mahkamah, tetapi dalam praktiknya mahkamah selalu menolak menyelidiki perkara-perkara yang tidak bersifat hukum.

Wewenang mahkamah bersifat fakultatif, yaitu jika terjadi suatu, sengketa antara dua negara, intervensi mahkamah gres sanggup terjadi jika negara-negara yang bersengketa dengan persetujuan bersama membawa kasus itu ke mahkamah. Tanpa adanya persetujuabn pihak-pihak yang bersengketa, wewenang mahkamah tidak akan berlaku terhadap sengketa tersebut. Itulah yang dinamakan wewenang fakultatif. 

Pada tahun 1920, Panitia Ahli Hukum yang ditugaskan untull menyiapkan proyek penlampauan Statuta Mahkamah Tetall mengusulkan pemdiberian wewenang wajib mahkamah untuk tiruanai sengketa hukum, tetapi usul tersebut menerima tantangan daril negara-negara besar, ibarat Italia, Inggris, dan Perancis. Pada tahun 1945 di San Francisco, perjuangan untuk memasukkan wewenang wajib ini kembali gagal alasannya menerima tantangan dari Amerika Serikat dan Uni Soviet. 

 Kompetensi Mahkamah Internasional tercakup dalam kekuasaan pengadilan internasional dalam Teknik Penyelesaian Sengketa Internasional oleh Mahkamah Internasional

Penolakan wewenang wajib ini dikarenakan banyak negara tidak menginginkan sifat supranasional wewenang mahkamah dan pelepasan kedaulatan negara-negara. Bahkan, dalam rangka wewenang fakultatif  pun semenjak tahun 1946 Uni Soviet tidak pernah mengajukan sengketanya ke Mahkamah. Selain itu, prinsip yurisdiktif fakultatif ini berkali-kali ditegaskan dalam keputusan-keputusan mahkamah. 

Dalam keputusa mahkamah tanggal 25 Maret 1948 terkena kasus Selat Corfu diputuskan "Persetujuan pihak-pihak yang bersengketalah yang mempersembahkan wewenang kepada mahkamah." Dalam keputusannya tanggal 221 Juli 1952 terkena kasus Perusahaan Minyak Anglo-Iranian, mahkamah juga menyatakan "Wewenang mahkamah untuk menyelidiki suatu kasus secara mendalam dan mengambil keputusan tergantung paciaai kemauan pihak-pihak yang bersengketa. 

C. Wewenang Wajib (Compulsory jurisdiction)

Wewenang wajib dari mahkamah spesialuntuk sanggup terjadi jika negara-negara sebelumnya dalam suatuu persetujuan mendapatkan wewenang mahkamah.

  • Wewenang Wajib Berdasarkan Ketentuan Konvensional
Sama dengan arbitrase, wewenang wajib konvensional sanggup diterima dalam bentuk klausul khusuil atau perjanjian-perjanjian umum. Klausul khusus ini terdapat dalam suatu perjanjian sebagai tambahann dari perjanjian itu sendiri. Klausul ini bertujuan menuntaskan sengketa-sengketa yang mungkinn lahir di masa yang akan hadir terkena pelaksanaan dan interpretasi perjanjian tersebut di muka mahkamah.

Klausul khusus ini contohnya sanggup dijumpai dalam perjanjian-perjanjian perdamaian tahun 191 perjanjian-perjanjian terkena minoritas, dan lain-lainnya. Sesudah Perang Dunia II, klausul-klausul khusus juga terdapat dalam piagam konstitutif organisasi internasional. Klausui-klausul tersebut juga: terdapat dalam konvensi-konvensi kodifikasi yang baru, contohnya konvensi ihwal Hubungan: Diplomatik tahun 1961 dan terkena Hukum Perjanjian tahun 1969. 

Di samping itu tiruana, ada juga perjanjian-perjanjian yang dibentuk oleh negara-negara yang khusus, bertujuan untuk menuntaskan secara tenang sengketa-sengketa aturan mereka di masa menhadirr di muka mahkamah. Perlu diingat bahwa keharusan mendapatkan wewenang mahkamah terbatas pada: sengketa hukum.
 
  • Wewenang Opsional
Pasal 36 ayat (2) Statuta menyampaikan bahwa negara-negara pihak Statuta sanggup setiap dikala menyatakan: untuk mendapatkan wewenang wajib mahkamah dan tanpa persetujuan khusus dalam hubungannya dengan negara lain yang mendapatkan kewajiban yang sama, dalam tiruana sengketa aturan terkena

  1. penafsiran suatu perjanjian,
  2. setiap duduk kasus aturan internasional,
  3. adanya suatu fakta yang sanggup terbukti akan ialah pelanggaran terhadap kewajiban internasional, dan,
  4. jenis atau besarnya ganti rugi yang harus didiberikan alasannya pelanggaran dari suatu kewajiban internasional. 

  • Pendapat-pendapat yang Tidak Mengikat (Advisory Opinion)
Mahkamah juga mempunyai fungsi konsultatif, yaitu mempersembahkan pendapat yang tidak mengikat atau yang disebut advisory opinion. Hal ini ditulis dalam Pasal 96 ayat (1) Piagam PBB, sedangkan Statuta dan aturan mekanisme mahkamah yang menetapkan syarat-syarat pelaksanaan pasal tersebut terdapat dalam Bab IV Statuta.



Daftar Pustaka: Yudhistira

Post a Comment for "Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Oleh Mahkamah Internasional"