Daftar Organisasi Yang Bersifat Moderat Pada Masa Pergerakan Nasional
Moderat sanggup diartikan lunak. Artinya lunak dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Jika organisasi-organisasi yang bersifat radikal bersikap nonkooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda, maka organisasi ini justru bersikap sebaliknya.
Organisasi ini mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda dalam mencapai cita-citanya. Sebenarnya baik organisasi radikal maupun moderat mempunyai keinginan yang sama, yaitu mencapai Indonesia merdeka. Hanya saja keduanya memakai cara yang tidak sama dalam mewujudkan cita-citanya.
Misalnya anggota organisasi moderat bersedia menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad), sedangkan anggota organisasi radikal tidak mau menjadi anggota Dewan Rakyat. Sikap moderat terpaksa dilakukan lantaran melihat bahwa organisasi radikal menerima tekanan dari pemerintah kolonial Belanda.
Banyak dari pemimpin organisasi radikal yang ditangkap oleh pemerintah kolonial. Guna menjaga kelangsungan hidup semangat nasionalisme yang tumbuh dalam sebuah wadah organisasi, organisasi-organisasi yang lahir setelah tahun 1930 harus bersikap moderat. Beberapa organisasi yang bersifat moderat menyerupai di bawah ini.
Daftar Organisasi yang Bersifat Moderat
A. Partai Indonesia Raya (Parindra)
Dibandingkan dengan Algemene Studie Club yang didirikan oleh Ir. Soekarno di Bandung, Kelompok Studi Indonesia di Surabaya lebih bersifat moderat. Organisasi yang didirikan oleh dr. Soetomo ini berperan meneruskan usaha organisasi-organisasi radikal setelah pemimpin mereka ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Kelompok Studi Indonesia ialah mempropagandakan inspirasi dan cita-citanya melalui surat kabar Soeloeh Rakyat Indonesia. Pada tanggal 4 Januari 1931, Kelompok Studi Indonesia mengubah namanya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Seperti halnya organisasi kebangsaan yang lain, PBI juga bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka.
Situasi dan kondisi di Indonesia setelah dilumpuhkannya gerakan nonkooperasi pada tahun 1930-an, mendorong terjalinnya hubungan antara PBI dan Boedi Oetomo (BO). Langkah selanjutnya ialah terjadinya fusi antara dua organisasi tersebut dan terbentuklah partai baru, yang didiberi nama Partai Indonesia Raya (Parindra).
Kemudian ikut bergabung di dalam partai gres tersebut Sarekat Selebes, Sarekat Sumatra, Sarekat Ambon, dan Perkumpulan Kaum Betawi. Parindra yang diketuai oleh dr. Soetomo sudah menyiapkan program-programnya baik yang menyangkut duduk kasus dalam negeri maupun duduk kasus luar negeri. Untuk mencapai aktivitas dalam negerinya, Parindra melaksanakan langkah-langkah sebagai diberikut:
- Bidang politik, mengusahakan terciptanya suatu pemerintahan yang demokratis yang menurut pada kepentingan bangsa Indonesia, memperjuangkan kedudukan yang sama bagi setiap penduduk, serta persamaan hak dan kewajiban bagi setiap orang.
- Bidang ekonomi, memajukan perdagangan dan pertanian serta membuka perdagangan dengan luar negeri.
- Bidang sosial, menyelenggarakan pendidikan nasional, memajukan pendidikan jasmani, memajukan kesehatan rakyat, mengurangi pengangguran, hak bekerja dan melarang belum dewasa bekerja sebagai buruh, serta mencegah cara kerja yang tidak baik.
Sementara untuk mencapai aktivitas luar negeri, langkah-langkah yang dilakukan oleh Parindra sebagai diberikut:
- Meningkatkan hubungan luar negeri dalam segala bidang.
- Mengangkat wakil-wakil di luar negeri untuk kepentingan masyarakat negara Indonesia.
- Memajukan pelatihan bahasa asing.
- Mengirim para mahasiswa untuk berguru di luar negeri.
B. Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)
Meskipun Parindra ialah organisasi yang cukup besar, namun organisasi tersebut kurang populer. Hal ini disebabkan sikapnya yang kooperatif dan kurang revolusioner. Beberapa tokoh yang dulu tergabung dalam Partindo (organisasi yang didirikan oleh Mr. Sartono setelah para pemimpin PNI ditangkap), tidak bersimpati kepada Parindra.
Mereka tetap berpegang pada perilaku nonkooperatif dan tidak mau masuk ke dalam Parindra. Kemudian pada tanggal 24 Mei 1937 mereka membentuk organisasi gres yang didiberi nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Para pemimpinnya antara lain A.K. Gani, Sartono, Amir Syarifuddin, dan Moh. Yamin.
Sebagai penerus dari Partindo, Gerindo tetap bersifat revolusioner. Tetapi lantaran harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang ketika itu, organisasi ini tetap menurut asas kooperatif. Anggotanya juga bekerja sama dengan pemerintah dan boleh duduk dalam Dewan Rakyat (Volksraad).
Meskipun bersifat kooperatif, tetapi lantaran para pemimpinnya bersifat tegas terhadap pemerintah kolonial, maka Gerindo diperlukan lebih sanggup berkembang dan menerima proteksi dari masyarakat. Tujuan Gerindo ialah mencapai kemerdekaan politik, ekonomi, dan sosial demi kesejahteraan rakyat. Gerindo bercorak internasional dan sosialistis.
Bercorak internasional mengandung pengertian bahwa Gerindo mencoba membuatkan hubungan dengan luar negeri. Selain itu, Gerindo juga memdiberi informasi tentang keadaan Indonesia kepada dunia luar. Dalam banyak sekali kongres yang diadakan, organisasi ini berupaya untuk mencapai bentuk masyarakat yang bersendikan pada demokrasi politik, ekonomi, dan sosial.
Perbaikan tingkat kehidupan rakyat dan keadilan sosial selalu diusahakan dengan cara demokratis. Gerindo juga menginginkan terbentuknya suatu pemerintahan sendiri menyerupai yang dikehendaki oleh rakyatnya. Meskipun asas usaha Gerindo sesuai dengan harapan rakyat, tetapi Gerindo tidak menerima tempat di hati masyarakat lantaran organisasi ini tidak lahir dari bawah.
Oleh lantaran adanya perbedaan pendapat, maka terjadilah perpecahan dalam tubuh Gerindo. Salah seorang pimpinan, Moh. Yamin dipecat lantaran dinilai tidak loyal kepada organisasi. Kemudian pada tanggal 21 Juli 1939, Moh. Yamin mendirikan partai gres yang disebut Partai Persatuan Indonesia (Parpindo). Partai ini pun bersifat kooperatif dan berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka membuatkan organisasi, Gerindo berusaha untuk memperluas keanggotaannya. Oleh lantaran itu, pada waktu diadakan kongres di Palembang tanggal 1-2 Agustus 1939, diputuskan untuk mendapatkan anggota dari golongan peranakan (Eropa, Cina, dan Arab). Meskipun Gerindo bersifat kooperatif, tetapi organisasi ini tidak sanggup mengakar di Volksraad.
Hal ini dikarenakan sikapnya yang revolusioner sehingga dalam pemilihan anggota Volksraad, Gerindo selalu terdesak oleh partai-partai yang lebih moderat. Akibatnya Gerindo tidak menerima kursi. Gerindo juga mempunyai gerakan cowok yang berjulukan Barisan Pemuda Gerindo, dengan tokohnya antara lain Armansyah dan D.N. Aidit.
C. Petisi Sutardjo
sepertiyang disebutkan di atas, semenjak tahun 1930 organisasi radikal menerima tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Oleh lantaran itu, perilaku nonkooperatif mustahil dilakukan, apalagi melaksanakan tuntutan dengan menggerakkan massa.
Satu-satunya cara untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah Belanda ialah melalui Dewan Rakyat (Volksraad). Menyadari hal ini, Sutardjo Kartohadikusumo, ketua Persatuan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB), yang duduk dalam Dewan Rakyat, mengajukan seruan kepada pemerintah Kerajaan Belanda. Usul yang disampaikan pada tanggal 15 Juli 1936 tersebut kemudian terkenal dengan nama `Petisi Sutardjo'.
Dalam petisinya, Sutardjo mengusulkan biar diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda. Dalam pertemuan antara kedua belah pihak, masing-masing anggota mempunyai hak yang sama. Tujuannya ialah mengulas dan menyusun rencana pemdiberian otonomi kepada Indonesia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar negeri Belanda.
Pelaksanaannya akan diatur secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun, atau waktu yang diputuskan oleh hasil musyawarah. Alasan Sutardjo, dalam Pasal 1 Undang-Undang Dasar negeri Belanda disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Nederland (Belanda) mencakup Nederland, Hindia Belanda (Indonesia), Suriname, dan Curacao.
Menurut pemahaman Sutardjo, keempat wilayah tersebut mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dalam Kerajaan Nederland. Karena itu masuk akal bila wilayah Hindia Belanda didiberi otonomi biar sederajat dengan wilayah Belanda. Petisi Sutardjo menyangkut banyak sekali hal, antara lain sebagai diberikut:
- Pulau Jawa dijadikan satu provinsi, sedangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok tempat yang bersifat otonom dan menurut demokrasi.
- Sifat dualisme dalam pemerintahan tempat perlu dihapus.
- Gubernur jenderal diangkat oleh raja dan mempunyai hak kekebalan.
- Volksraad dijadikan tubuh legislatif sesungguhnya.
- Dibentuk Dewan Kerajaan sebagai tubuh tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia. Para anggota dewan tersebut terdiri dari wakil-wakil kedua negara dengan satu pimpinan yang diangkat, yang bukan seorang menteri atau eksekutif atau salah seorang dari ketua parlemen.
- Penduduk Indonesia ialah orang-orang yang lantaran kelahiran, asal-usul dan cita-citanya ialah untuk Indonesia. Sedangkan bagi orang gila yang dilahirkan di Indonesia, diadakan seleksi secara ketat.
Petisi Sutardjo memperoleh tanggapan yang tidak sama, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia. Di negeri Belanda menjadikan pro dan kontra, demikian juga di Hindia Belanda. Golongan reaksioner Belanda menyampaikan bahwa Indonesia belum waktunya untuk bangkit sendiri.
Beberapa pers Belanda menyatakan bahwa petisi tersebut selain ialah permainan yang berbahaya, juga tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia. Namun, ada juga orang Belanda yang mendukung petisi tersebut. Mereka menyatakan dukungannya dengan mengirim surat kepada Sutardjo.
Seperti halnya di negeri Belanda, Petisi Sutardjo juga menjadikan pro dan kontra di Indonesia. Beberapa anggota Volksraad menyatakan bahwa petisi tersebut kurang lengkap dan tidak mempunyai kekuatan. Sebaliknya, pers Indonesia menyerupai Pemandangan, Cahaya Timur, Pelita Andalas, Pewarta Deli, dan majalah Suara Kristen menyatakan dukungannya kepada Petisi Sutardjo.
Pada tanggal 17 September 1936, Petisi Sutardjo dibawa ke sidang Volksraad untuk dibahas. Sesudah melalui perdebatan, maka pada tanggal 29 September 1936 diadakan pemungutan suara. Akhirnya Petisi Sutardjo diterima oleh Volksraad dengan perbandingan bunyi 26 oke dan 20 menolak. Kemudian pada tanggal 1 Oktober 1936 petisi yang sudah menjadi petisi Volhsraad tersebut diajukan kepada Ratu Belanda, Staten General, dan Menteri Jajahan di negeri Belanda.
Di Indonesia perdebatan tentang Petisi Sutardjo terus berlanjut baik dalam komite yang khusus dibuat untuk mengulas Petisi Sutardjo maupun oleh banyak sekali organisasi yang ada di Indonesia. Sementara itu, suara-suara untuk menolak petisi mulai terdengar dari pihak Belanda.
Di Indonesia perdebatan tentang Petisi Sutardjo terus berlanjut baik dalam komite yang khusus dibuat untuk mengulas Petisi Sutardjo maupun oleh banyak sekali organisasi yang ada di Indonesia. Sementara itu, suara-suara untuk menolak petisi mulai terdengar dari pihak Belanda.
Gubernur Jenderal Tjarda mempersembahkan laporan kepada Menteri Jajahan Belanda yang isinya menyarankan biar Petisi Sutardjo ditolak. Alasannya, selain isinya kurang terperinci juga akan mengakibatkan timbulnya perubahan-perubahan yang fundamental di Indonesia.
Akhirnya dengan Keputusan Kerajaan Belanda no. 40 tanggal 16 November 1938, Ratu Belanda menolak petisi yang diajukan oleh Volizsraad. Alasannya antara lain bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung balasan memerintah diri sendiri.
D. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
GAPI sanggup dikatakan sebagai lembaga antara partai-partai politik untuk mencapai tujuan bersama. Gagasan membina kolaborasi antara partai-partai politik dalam bentuk federasi sesungguhnya sudah ada semenjak bulan April 1938. Pada waktu itu atas tawaran PSII dibuat Badan Perantara Partai-Partai Politik Indonesia (Bapeppi), tetapi kurang lancar.
Kemudian pada tahun 1939, dengan dipelopori oleh Muhammad Husni Thamrin dari Parindra, gagasan untuk membentuk federasi antarpartai politik muncul kembali. melaluiataubersamaini kata lain perlu dibuat serius nasional. Adapun faktor-faktor yang mendorong terbentuknya federasi tersebut ialah sebagai diberikut:
- Kegagalan Petisi Sutardjo.
- Kegentingan internasional akhir timbulnya fasisme.
- Sikap pemerintah yang kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan bangsa Indonesia.
Ketiga faktor tersebut ialah tantangan yang harus dihadapi oleh para pemimpin Indonesia. Dan yang paling membahayakan ialah kemenangan fasisme di banyak sekali wilayah. Masih ingat apa fasisme? Kemenangan naziisme di Jerman dan kemenangan fasisme di Italia dan Jepang kurang menguntungkan bagi usaha bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan.
Pers Indonesia kemudian menyerukan biar abadiahan Petisi Sutardjo dalam lembaga Volksraad justru menjadi cambuk untuk menyusun kekuatan baru. Kemudian M.H. Thamrin dari Parindra berusaha mengatasinya dengan membentuk organisasi baru. Sebagai langkah awal, diadakan pendekatan antara beberapa partai, menyerupai PSII, Gerindo, PII, Pasundan, Persatuan Minahasa, dan Partai Kristen untuk membicarakan masa depan Indonesia.
Pada tanggal 21 Mei 1939 diadakan rapat pendirian serius nasional di Gedung Permufakatan di Jakarta. Rapat tersebut dihadiri antara lain oleh M.H. Thamrin dan Sukarjo Wiryopranoto dari Parindra; Brotokusumo, Sudirejo, dan Atik Suardi dari Pasundan; Abikusno dan Syahbudin Latif dari PSII, H. Mansur dan Wiwoho; serta Ratu Langie, Sarifudin, dan Wilopo dari Gerindo.
Dalam rapat disahkan tentang pembentukan organisasi gres yang didiberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Tiap partai yang tergabung dalam GAPI mempunyai kebebasan penuh dalam melaksanakan aktivitas kerjanya. Apabila timbul perselisihan antara partai-partai, GAPI bertindak sebagai penengah. Dalam anggaran dasarnya, disebutkan bahwa dalam mencapai tujuannya GAPI menurut pada :
- Hak untuk memilih nasib sendiri;
- Kesatuan dan persatuan nasional serta pengembangan demokrasi dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi; serta
- Persatuan agresi seluruh pergerakan Indonesia.
Sebagai pimpinan organisasi terpilih M. H. Thamrin, Amir Syarifuddin, dan Abi Kusno Cokrosuyoso. Pada tanggal 4 Juli 1939, diadakan rapat yang mengulas tentang aktivitas dan agresi bersama yang perlu diperjuangkan oleh GAPI. Berdasarkan aktivitas usaha GAPI yang disusun pada tanggal 4 Juli 1939 terdapat dua hal yang menjadi terkenal, yaitu Indonesia berparlemen dan pembentukan solidaritas Indonesia - Belanda untuk menghadapi fasisme.
Guna merealisasikan semboyan Indonesia Berparlemen, GAPI akan melaksanakan agresi dengan menuntut adanya tubuh legislatif yang disusun dan dipilih oleh rakyat Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda harus bertanggung balasan kepada tubuh legislatif tersebut. melaluiataubersamaini demikian, semboyan Indonesia Berparlemen bukan berarti Indonesia menuntut kemerdekaan penuh. Tetapi rakyat Indonesia sanggup mempersembahkan pengawasan terhadap pemerintahan kolonial Belanda melalui tubuh legislatif yang dipilihnya.
Pada tanggal 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang disebut Manifesto GAPI. Isinya mengajak rakyat Indonesia dan Belanda untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman fasisme. Tiga ahad sebelum Manifesto GAPI, meletuslah Perang Dunia II. Perang ini dimulai dengan adanya serangan kilat Jerman terhadap Polandia. Jerman yang menganut naziisme bersekutu dengan Italia dan Jepang yang menganut paham fasisme.
Baik naziisme maupun fasisme termasuk paham totaliterisme yang berperihalan dengan paham demokrasi. Tentang hal itu akan dibahas lebih lanjut di kelas IX. melaluiataubersamaini demikian, fasisme ialah ancaman bagi Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaan.
Fasisme juga berbahaya bagi Belanda yang menganut paham demokrasi. Oleh lantaran itu, Indonesia dan Belanda sanggup bekerja sama untuk menghadapi fasisme. Kerja sama tersebut akan lebih berhasil bila kepada rakyat Indonesia didiberikan hak-hak gres dalam urusan pemerintahan.
Pada tanggal 1 Oktober 1939 GAPI mengadakan rapat umum di Jakarta dengan tujuan untuk mendapatkan proteksi yang lebih luas. Sementara itu, tokoh-tokoh lain menyerupai Moh. Yamin dan Tajudin Nur juga membentuk organisasi yang bertujuan memperjuangkan kepentingan daerah-daerah di luar pulau Jawa. Pada tanggal 10 Juli 1939, mereka membentuk Golongan Nasional Indonesia (GNI).
Selanjutnya organisasi ini mengajukan petisi kepada Staaten General (Badan Perwakilan Belanda) biar dibuat suatu tubuh legislatif bagi rakyat Indonesia. Langkah yang diambil GNI kurang menguntungkan bagi kaum pergerakan. Kesan yang timbul ialah seperti terjadi perpecahan di antara kaum pergerakan nasional.
Tuntutan GAPI tidak menerima tanggapan positif dari pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial tidak akan mengadakan perubahan di Indonesia sebelum Perang Dunia II selesai. Meskipun demikian, pada tanggal 14 September 1940 pemerintah kolonial Belanda membentuk Komisi Visman. Komisi tersebut bertugas untuk menilik dan mempelajari perubahan-perubahan yang diinginkan rakyat Indonesia.
Akan tetapi, GAPI mencurigai manfaat dibentuknya Komisi Visman. Keraguan GAPI berdasar pada pengalaman tahun 1918, pembentukan sebuah komisi yang serupa dengan Komisi Visman ternyata tidak menghasilkan apa-apa. melaluiataubersamaini kata lain, pemerintah kolonial Belanda tidak fokus menghadapi tuntutan GAPI. Keadaan demikian tetap berlangsung hingga Jepang mendarat di Indonesia pada bulan Maret 1942.
Daftar Pustaka: Yudhistira
Post a Comment for "Daftar Organisasi Yang Bersifat Moderat Pada Masa Pergerakan Nasional"