Bentuk Eksploitasi Sumber Alam Dan Tenaga Kerja Pada Era Penjajahan Jepang
Karena berada di bawah pemerintahan militer, segala kebijakan poli tik, ekonomi, dan sosial berkaitan dengan perang melawan kekuatanSekutu. Untuk kepentingan perang itu, Jepang mengeksplotasi habis-habisan sumber alam dan sumber tenaga kerja.
Jepang berusaha menguasai dan mendapat sumber-sumber materi mentah untuk industri perang. Selain itu, Jepang juga mempunyai rencana memotong sumber perbekalan di negara-negara Asia. Untuk melaksanakan rencana itu, Jepang menempuh dua tahap. Tahap pertama ialah penguasaan dan tahap kedua ialah penyusunan kembali ekonomi tempat jajahan untuk memenuhi bahan-bahan perang. Tujuannya, biar wilayah-wilayah yang dikuasai sanggup memenuhi kebutuhan sendiri.
Sebelum mengalah kepada Jepang, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan strategi bumi hangus dengan menghancurkan objek-objek vital, terutama instalasi tambang minyak bumi. Itulah sebabnya, pada masa pertama pendudukan Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi lumpuh. Untuk mengatasi itu tiruana, pemerintah pendudukan Jepang mengadakan rehabilitasi masukana ekonomi, menyerupai memperbaiki jembatan dan telepon. Selain itu, pemerintahan pendudukan tjuga mengawasi eksklusif perkebunan kina, karet, dan teh.
Usaha perkebunan yang dijalankan oleh pemerintah pendudukan Jepang harus menunjang perjuangan perang. Misalnya, flora materi masakan amat diharapkan untuk perbekalan dan flora jarak untuk dibuat minyak pelumas mesin-mesin perang. Akibatnya, banyak perkebunan tembakau di Sumatra yang dimusnahkan untuk kemudian ditanami jarak.
Tuntutan kebutuhan bahan-bahan semakin meningkat, dikala Jepang semakin terdesak pada tahun 1944. Kemudian, dilancarkan kampanve pengerahan barang dan menambah materi pangan secara besar-bemasukan yang dilakukan oleh Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa), Navo Kumiai (koperasi pertanian), dan instansi-instansi pemerintah lainnva.
Pengambilan secara besarebamasukan materi pangan dari rakyat untuk tentara sudah barang tentu membawa peristiwa bagi rakvat. Kebutuhan pangan rakyat di Jawa yang sudah tidak lagi menculcupi semenjak tahun 1942 bertambah parah. Pemerintah pendudukan Jepang menganjurkan untuk memperbesar produksi pangan dengan membuka areal gres Lahan perkebunan tembakau, kopi, dan teh dipaksakan untuk ditanami materi makanan.
Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang itu berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Akibat kebijakan itu, terjadilah pengrusakan hutan. Di Pulau Jawa saja sudah dilakukan penebangan hutan secara liar seluas 500.000 hektar, dengan alasan dijadikan lahan pertanian. Pengerahan materi masakan oleh pemerintah Jepang juga dilakukan dengan cara penyetoran padi atau hasil pguan lainnya kepada pemerintah. Dari sejumlah hasil pguan, rakynanya boleh mempunyai 20%, 30% harus diserahkan kepada pemerintah melalui Noyo Kumiai, dan 50% lainnya disediakan untuk bibit dan disetorkan kepada lumbung desa.
A. Eksploitasi Sumber Tenaga Kerja
Eksploitasi sumber tenaga kerja semasa pemerintahan pendudukan Jepang dilakukan terhadap tiruana kalangan dalam masyarakat Indonesia. Baik masyarakat kota maupun desa, mulai dari yang bakir hingga kepada vang buta abjad sekalipun, tiruana diperah untuk keperluan Jepang. Kelompok yang paling sengsara ialah Romusha (tenaga kerja paksa).
Mereka diperlakulcan secara paksa oleh Jepang, terutama di objek-objek untuk membangun lapangan terbang, kubu-kubu pertahanan, dan jalan kereta api. Tenaga romusha ini kebanyakan diambil dari desa-desa, terutama vang tidak bersekolah atau paling tinggi tamat sekolah dasar. Pulau Jawa sebagai wilavah vang terpadat penduduknya memungkinkan pengerahan tenaga romusha secara besar-bemasukan. Beribu-ribu romusha dikirim ke luar Jawa. Bahkan, ada di antara mereka yang dikirim ke luar negeri, menyerupai Malaya (Malaysia), Burma (Myanmar), dan Siam (Thailand).
Perlakuan terhadap romusha sangat buruk. Kesehatan tidak terjamin, masakan tidak mencukupi, sedangkan peierjaan terlampau berat. Akibatnya, banvak romusha yang meninggal di tempat kerjanya. Keadaan yang menyedihkan itu alhasil menyebar dari lisan ke lisan ke seluruh rnasyarakat desa. Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan menutupi diam-diam itu, semenjak tahun 1943 Jepang melancarkan kampanye baru, yang menyatakan bahwa romusha ialah prajurit ekonomi atau pendekar pekerja.
Mereka digambarkan sebagai prajurit-prajurit yang menunaikan kiprah sucinya untuk angkatan perang Jepang. Pengerahan tenaga kerja untuk romusha tersebut sudah membawa jawaban pula pada struktur sosial di Indonesia. Banyak cowok petani yang menghilang dari desanya lantaran mereka takut dikirim sebagai romusha. Akibatnya, lebih banyak didominasi penghuni desa ialah kaum wanita, anak-anak, dan orang yang cacat.
B. Eksploitasi Total untuk Usaha Perang Jepang
Memasuki tahun 1943, kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik mulai berubah. Jepang yang sebelumnya bertindak sebagai pihak penyerang, kini berbalik sebagai pihak bertahan. Serangan demi serangan pasukan Sekutu di wilayah Pasifik mulai mendesak Jepang.
Untuk mempertahankan tempat pendudukan yang begitu luas, Jepang memerlukan pertolongan dari penduduk setempat. Dalam rangka menarikdanunik pertolongan itu, Jepang mulai mengerahkan kaum muda Indonesia untuk memmenolong perjuangan Perang Asia Timur Raya. Rakyat Indonesia harus disiagakan secara fisik untuk menghadapi kehadiran pasukan Sekutu.
Pada tanggal 9 Maret 1943, didirikan organisasi semi militer berjulukan Seinendan (Barisan Pemuda). Pemuda yang diperbolehkan masuk anggota Seinendan berumur antara 14 hingga 22 tahun. Tujuan pembentukan Seinendan ialah mendidik dan melatih para cowok biar sanggup mempertahankan tanah airnva dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi, di balik tujuan itu, Seinendan disiapkan untuk memmenolong Jepang menghadapi serbuan pasukan Sekutu.
Fujinkai Pengerahan tenaga untuk perang ini tidak spesialuntuk berlaku bagi kaum pria tetapi juga kaum wanita.Untuk keperluan itu, pada bulan Agustus 1943 dibuat Fujinkai (Himpunan Wanita) yang anggotanya berumur 15 tahun ke atas. Kepada para perempuan itu pun didiberi tes-tes semi militer.
Keibodan Para cowok juga ada yang dimasukkan ke dalam kelompok khusus untuk mendapat pendidikan memmenolong tugas-tugas kepolisian. Kelompok khusus ini disebut Keibodan (Barisan Pemmenolong Polisi). Umur anggota yang diterima antara 20-25 tahun. Di Sumatera Keibodan populer dengan nama Bogadan. Di Kalimantan populer dengan nama Sameo Konen Hokokudan.
Organisasi Militer Memasuki tahun 1944, Jepang mengalami kemunduran di setiap front pertempuran. Jepang memerlukan pemanis militer untuk mengganti pasukan-pasukannya yang hancur. Untuk keperluan itu, pada bulan April 1944, didirikan Heiho (pemmenolong prajurit) dan pada tanggal 3 Oktober 1944 didirikan PETA (Pembela Tanah Air) di Pulau Jawa dan Giyugun di Pulau Sumatera.
Pembentukan tentara sukarela itu menjadikan timbulnya suatu golongan masyarakat yang memperoleh pendidikan militer pada zaman Jepang. Di kemudian hari, mereka menjadi golongan penting dalam masyarakat Indonesia. Sesudah Indonesia merdeka, banyak di antara mereka yang menjadi pemimpin Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau bahkan menjadi pemimpin politik.
Daftar Pustaka: Erlangga
Post a Comment for "Bentuk Eksploitasi Sumber Alam Dan Tenaga Kerja Pada Era Penjajahan Jepang"